Sekiranya ada kesilapan pada transkrip, anda boleh rujuk video ini untuk semakan.
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!
In alhamdulillah, mayadilah falah modelalah humayu dalil falah hadiahlah syahdula ilahillallah wahdahululah syarikatlah was shadow anna Muhammad dan adhuhu wa Rasulullah Umar 4 Kota Ibrahim. Alhamdulillah, di sore yang berbagai ini kita bisa meramaikan memakmurkan masjid ini dalam rangka tolabulail, dalam rangka mencari ilmu warisan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.
Satu kenikmatan bagi seorang muslim bila dapat menjadi bahagian dari umarul massajid, orang-orang yang memakmurkan masjid. Allah Subhanahuwataala berfirman, in nama yakmuru massaji dallahi man aman abillahi wali umil akhir, waqamus solat, tawakal zakat walambiah shah illallah fasa ulat iga minal muflihin. Sesungguhnya, innama yang memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang aman nabi lahir beliau bin akhir, orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir.
Kehadiran antum sekalian, kehadiran kita di masjid ini adalah salah satu indikasi, salah satu pertanda bahawa kita beriman kepada Allah. Kerana hanya merekalah orang yang berimanlah yang bisa secara terus-menerus, secara continue dakwah terus-menerus memakmurkan rumah Allah Subhanahuwataala.
Ada satu tema yang sering kali menjadi biang keributan, menjadi awal keributan di masyarakat, pro dan kontrak. Bahkan dalam beberapa kejadian menjadikan adanya kontak fisik dan nilainya, iaitu isu wahabi. Yang pro sering kali juga belum sepenuhnya memahami apakah itu wahabi. Yang kontra pun sejatinya banyak yang belum memahami apa dan siapa wahabi. Yang ada hanya apa emosi, yang ada hanya katanya, yang ada apa dengar-dengar bukan memahami, bukan mengetahui.
Di sisi lain, kerana juga faktor emosi, kerana faktor perasaan yang pro merasa wahabi itu adalah sebuah kebenaran. Wahabi itu adalah akidah yang harus dipertahankan, bukan hanya dengan ucapan, bahkan kalau bisa hingga tetesan darah terakhir. Itu adalah iman saya, itu adalah keyakinan saya. Saya dan anak keturunan saya akan menjadi wahabi katanya. Kalau ditanya, maaf pak, mas, di mana ada ayat atau ada hadisnya yang mengatakan bahawa wahabi itu benar? Sepanjang saya belajar, sepanjang saya membaca al-Quran, tidak pernah ada pernyataan bahawa wahabi itu benar. Sebaliknya pun demikian juga, belum pernah ada ayat atau hadis yang mengatakan wahabi itu sesat. Tapi nyatanya di masyarakat, satu kelompok mengatakan wahabi sesat.
Pokoknya yang bau wahabi apa lagi sudah terbukti sekadar katanya dia itu wahabi, sudah menjadi dimusuhi orang, dijauhi orang. Padahal kalau tanya, apa sih wahabi? Enak mana wahabi dengan tempe goreng? Loh, kok tempe lagi? Wahabi itu apa ya? Pokoknya ndak tahu, katanya wahabi tu sesat. Sesat seperti apakah wahabi? Ha gampang, kalau mahu tahu wahabi yang jenggotan, celananya cingkrang, kalau wanitanya cadaran, wahabi. Bererti kalau yang tidak jenggotan, tidak cingkrang celananya, bukan wahabi? Ya bukan wahabi. Subhanallah, bererti wahabi itu pakaian. Kalau ditanya, berapa harganya? Murah mahal? Bukan, terus apa wahabi?
Di sisi lain, yang setuju, yang pro dengan wahabi mengatakan pokoknya syeikh Islam Ibnu Taymiah itu wahabi. Syeikh kalau Islam Ibnu Taymiah itu hidup tahun berapa? Pokoknya saya itu belajarnya ada al iman, ada kitab-kitabnya Syekh Alaihissalam Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan nabi mereka itu wahabi. Pokoknya kalau ada Ibnu Taimiyah, bererti wahabi. MasyaAllah, kita dapatkan di kitab-kitab mereka, tidak pernah ada mengatakan kita wahabi, ayuh kita jadi wahabi.
Ada lagi yang lebih sedikit kritis, sedikit pernah membaca mengatakan, bukan itu Habib, wahabi itu ya antum semuanya itu. Kok bisa? Belajarnya ke ulama-ulama Saudi atau orang-orang yang pernah belajar di Saudi atau kaki atau anak cucu muridnya. Pokoknya bau-bau Saudi, wahabi. Kalau kita datang ke dubes Saudi Arabia, kita tanya, benarkah Saudi ini wahabi? Maka mengatakan juga tidak. Kerajaan kami namanya Al-Mulkhal Arabiyah Saudia, kerajaan Saudi Arabia, bukan kerajaan wahabi. Terus apa?
Yang pernah belajar, yang pernah membaca, maksud wahabi adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahab at-Tamimi. Oh, bererti pengikut Syeikh Muhammad, kelab tu wahabi. Ya, yang belajar, murid-muridnya yang mahu mengikuti pemahamannya, itu wahabi. Kalau ditanya, namanya siapa si beliau? Namanya Muhammad bin Abdul Wahab. Bererti siapa yang salah, fahamnya Muhammad atau fahamnya Abdul Wahab?
Kalau kita tahu nasab Muhammad bin Abdul Wahab itu, bererti anaknya itu namanya Muhammad, bapaknya namanya Abdul Wahab. Baik, silakan pelajari biografi dua orang ini, silakan baca sejarah bagaimana ayah dan anak ini. Mereka memang statusnya ayah dan anak, tapi faktanya, kenyataannya mereka itu berseberangan pendapat. Bahkan Muhammad ini diusir oleh bapanya. Diusir oleh bapanya gara-gara apa? Gara-gara Muhammad ini tidak mahu tabaruk dengan pohon kurma. Di budaya Arab zaman kerajaan-kerajaan sebelum berdirinya kerajaan Saudi, di sana ada pohon kurma yang dengan Fahrul fuhul, kurma jantan. Jadi kalau ada wanita mandul yang belum punya anak, memeluk kurma ini agar bisa hamil. Ini salah satu yang diingkari oleh Muhammad ini. Bapanya sebagai tokoh masyarakat tidak setuju, kenapa kamu mengingkari itu?
Akhirnya, mulailah perbedaan dapat anak dan bapa ini terus meruncing sampai akhirnya anaknya diusir oleh bapanya. Seharusnya kalau kita komitmen, kalau yang dituduh itu anaknya yang anti dengan tabarok, tabarok dengan pohon dan yang serupa, harusnya bukan wahabi, harusnya apa? Muhammadi. Kalau wahabi itu atau wahabi itu diajarkan atau dinisbahkan kepada ayahnya, maka di Indonesia ini wahabi semua. Ngalah berkah itu kepada macam-macam di Indonesia, seharusnya mereka itu wahabi.
Tapi justeru sebaliknya, yang pernah belajar, yang pernah membaca, apa lagi benar-benar mengajarkan apa yang beliau tulis dalam kitab-kitabnya, dibilang wahabi. Ini salah dalam secara bahasa, harusnya Muhammadi kerana anaknya namanya Muhammad, sedangkan ayahnya yang bernama Abdul Wahab, pemahamannya seperti yang ada di masyarakat kita itulah pemahamannya Abdul Wahab, pemahaman tasawuf. Yang hujung-hujungnya pemahaman tasawuf itu, yang pernah mempelajari tasawuf tingkat tingginya akan mengatakan semuanya boleh. Syariat itu bagi orang yang telah sampai pada tahapan tingkat tingginya, itu hanya ada satu iaitu boleh. Apa pun boleh ndak usah dirinci hukum, semuanya telah mengerutut menjadi satu, hukumnya itu boleh. Apa pun bentuknya tinggal satu, hukumnya itu boleh. Itu yang kemudian diistilahkan dalam ideologi tasawuf. Tasawuf itu atau disebut ahlut tarikhah atau ahli Suluk, itu dalam tingkatannya ada tingkatan syariat, tingkatan makrifat. Kalau dah sampai tingkatan makrifat, hukum itu tinggal satu iaitu boleh, mubah. Kalau sudah sampai tingkatan hakikat, maka sudah tidak ada lagi hukum. Hukum itu hanya berlaku bagi ahli syariat tingkatan syariat. Ini akidah Abdul Wahab.
Jadi kalau mahu dibilang wahabi, ya inilah sebetulnya yang lebih pantas untuk dikatakan wahabi kerana itulah yang diamalkan, diajarkan oleh Abdul Wahab. Sedangkan yang diajarkan, diamalkan anaknya adalah yang anti dengan itu semuanya. Sehingga harusnya namanya Muhammadi. Namun itu tidak penting bagi kita, kita lupakan. Kenapa kan orang bisa bilang ya nisbat itu bisa ke anak, bisa ke ayah. Ndak apa-apa nisbat itu. Baik itu dari sisi nama, bolehlah kalau kita tanya sebetulnya yang jelek dari Wahab itu apa sih yang membikin kita resah, membikin kita sebel, konyol, jengkel atau Habib tu apa sih? Kalau diusut-usul cuma ada dua, yang lainnya tu urusan sepele. Hobi mengkafirkan kelompok yang berbeda, semua orang yang tidak sefaham maka akan dikafirkan, dianggap kafir. Yang kedua, apa hobinya membidahkan. Lihat saja kalau ceramah, kalau khutbah pembukaannya seragam, ya apa pembukaannya? Qolumah dadatin bidaah dan qolum bin atin dolalah. Lain mereka itu dikit-dikit dolalah, dikit pindah dikit. Memang wahabi itu hobinya tukang stempel bidaah. Ada dua ini isu utama kenapa wahabi menjadi isu panas di mana pun.
Baik, kita akan bicarakan satu demi satu. Kita mulai dari mengkafirkan. Saya akan buat PR untuk antum semuanya. Silakan tanya kepada kerabat yang pernah haji—orang tua, kakek, atau mungkin bagi yang pernah haji atau umrah. Setiap antum hendak masuk ke Kota Mekah atau Kota Madinah, sebelum sampai di perbatasan, akan ada tulisan “muslim” dan “non-muslim” atau “kafir”. Yang non-muslim tidak diizinkan masuk ke Kota Mekah dan Kota Madinah. Saya tanya jemaah haji Indonesia, diarahkan ke mana, Pak? Ke jalur muslim atau jalur non-muslim? Berarti Saudi itu mengakui jemaah haji Indonesia muslim, Pak. Buktinya boleh masuk ke wilayah tanah haram. Ini tanpa pengecualian, asalkan paspor Indonesia, jemaah haji, dan jemaah umrah boleh masuk. Tidak dicek dulu, ha, kamu wahabi atau bukan wahabi, kamu ikut kamu atau tidak. Tidak pernah ada. Yang penting ada visanya. Kalau anda ada visa, siapa pun tidak boleh masuk. Tapi kalau sudah ada visa haji atau visa umrah, maka siapa pun boleh masuk Mekah dan Madinah. Ini bukti nyata bahwa yang katanya Saudi negara wahabi, ulamanya wahabi, menganggap kita semua ini sebagai orang Islam. Buktinya, silakan berangkat haji. Kalau tidak punya uang, nabung. Kalau tidak tahu pengumumannya, ajak saya nanti saya tunjukkan, Pak. Tapi bayari, ya. Minta diajari, tidak membayari, kan saya yang rugi. Kalau saya sudah pernah melihat 15 tahun tulisan itu ada terus menerus, “muslim” dan “non-muslim”, silakan tanya nanti Bapak Ibu yang pernah haji. Nah, kalau tanya kata bapaknya saya belum pernah melihat, nah ajak saya nanti saya tunjukkan. Tidak percaya, saya tunjukkan nanti. Tapi yang pernah haji pernah lihat itu, Pak. Ya, yang pernah haji silakan angkat tangan, pernah melihat itu, Pak. Ada tulisan “muslim” dan “non-muslim”, ajak saya, Pak. Ya, nanti saya tunjukkan, Pak. Gampang itu ada.
Jadi, sebelum masuk perbatasan tanah suci, tanah haram Mekah dan Madinah, pengendara kendaraan itu sudah diarahkan. Muslim maka akan masuk ke tanah suci, non-muslim akan diarahkan ke luar Kota Madinah dan keluar kota. Maka tidak boleh masuk. Kalau sampai ada non-muslim, pasti akan diarahkan keluar kota. Ini bukti nyata bahwa mereka tidaklah mengkafirkan, tidak mudah-mudah mengkafirkan. Asalkan dari negara Islam, langsung boleh masuk tanpa dirinci. Kerana itu, saya yakin bagi yang pernah haji atau umrah, isu katanya mengkafirkan atau tidak mengkafirkan ini sudah tidak laku lagi. Kerana itu, saya tidak ingin memperpanjang masalah ini. Sebetulnya tidak nyata, bahkan kenyataan di lapangan, pemerintah Saudi menjadi anggota negara OKI, negara-negara persatuan negara-negara Islam, berarti itu pengakuan bahwa kita semua, termasuk Indonesia, ini sebagai negara Islam. Itu konkritnya.
Kerana itu, saya ingin masuk pada isu yang lebih panas, iaitu gampang membidahkan. Buktinya, kalau jadi khatib, mahu ceramah, “kullu bid’atin dhalalah”, itu isunya, itu jargonnya. Katanya, dikit-dikit fitnah, dikit-dikit fitnah. Nah, kalau kita tinjau dari sisi riwayat hadis di atas, “kullu bid’atin dhalalah wa kulu dhalalatin finnar”, itu ada dalam referensi-referensi para ulama, dalam kitab-kitab hadis para ulama. Misalnya, Ali Imam Abu Daud yang notabene beliau adalah bermazhab Syafi’i. Dalam kitabnya disebutkan hadis “kullu bid’atin dhalalah”. Namun, saya tidak ingin bicara pada tahapan teori. Jadi, saya ingatkan sekali lagi bahawa katanya indikasi wahabi itu sedikit-dikit memfitnahkan. Gini tidak boleh, gitu tidak boleh, alasannya bid’ah. Jadi, pokoknya siapa saja yang gampang membid’ahkan, maka dia itu wahabi.
Saya mahu bertanya, Pak. Saya tanya, solat Subuh 10 rakaat boleh atau tidak? Apa saya semangat, mumpung masih muda, sehat badannya, liburan, hari Minggu, libur kerja, saya ingin solat Subuh 10 rakaat. Boleh tidak? Kok tidak boleh, kenapa tidak boleh? Apa alasannya? Orang baik kok lebih semangat. Antum ini malas solat Subuh cuma 2, dari dulu 2 saja. Mbahnya dulu solat Subuh 2 rakaat, bapaknya 2 rakaat, sekarang cucunya pun hanya 2 rakaat. Boleh tidak solat 10 rakaat? Ayuh, ada yang bilang boleh, Pak. Orang beribadah masa tidak boleh, Pak, lebih banyak kan? Tidak boleh ya. Sekarang, mahu tanya lagi, bid’ah atau tidak bid’ah kalau solat Subuhnya 10 rakaat? Ha, bid’ah. Wahabi memang terbukti wahabi. Orang solat kok difitnah, bid’ahkan. Orang sombong difitnah, fitnahkan. Apa salahnya kebanyakan, Pak, solatnya kebanyakan. Solatnya itu hanya 2 rakaat. Walau yang 10 itu lebih marah, lebih mantap, lebih banyak, lebih semangat. Tapi fitnah. Kenapa? Kerana urusan ibadah itu bukan hanya modal semangat, jumlahnya harus pas. Jadi kalau kelebihan namanya fitnah. Kalau dikurangi boleh tidak? Zaman sekarang kan, apalagi Indonesia semuanya disingkat. Sampai nama presidennya, nama tempatnya, semua disingkat. Kalau tidak percaya, silakan nulis alamat. Alamatnya RT, apa itu RT? Singkatan kan? Kalau nulis nama, namanya Muhammad, ditulisnya M. Gitu, Pak, ya. Sebutannya namanya Muhammad, panggilannya Mamat, ada Limat. Ada lagi Muhammad, dipanggilnya Dul, disingkat. Kenapa? Buat apa nama panjang-panjang? Gampang kan Dul. Kita saja sudah dengar, kenapa mesti Abdullah, kelamaan.
Nah, kalau sekarang ada orang Yesus sudah zaman modern, sekarang industri luar biasa, kita itu butuh yang cepat. Solatnya diringkas, 1 rakaat saja boleh tidak? Fitnah juga, yang solat Subuhnya 1 rakaat fitnah juga ya. Memang terlalu, dikit-dikit fitnah memang kok, memang terbukti wahabi. Ini yang mahu diringkas tidak boleh, yang mahu diperpanjang tidak boleh. Kenapa, Pak? Alasannya ada yang tahu kenapa tidak boleh? Saya ingin tahu kenapa, Pak. Tidak ada dasarnya kan? Jadi katanya solat itu harus ada contohnya, ada dasarnya, gitu Pak, ya. Walau lebih semangat, kalau tidak ada contohnya tak boleh. Di dalam urusan hitungan, ternyata kita itu harus mengikuti Nabi. Kalau kelebihan tidak boleh, kurang juga tidak boleh. Ini memang salah satu sebab, salah satu pintu terjadinya bid’ah, kata para ulama. Kata para ulama, dalam urusan ibadah, ingat, dalam urusan ibadah, dalam urusan ibadah hitungannya harus tepat. Kalau tidak tepat, maka itu bid’ah. Makanya dalam solat ada yang namanya sujud sahwi, yang lupa hitungan sujud sahwi. Ndak bisa alah kurang lebih, sama teman sendiri, ya Allah, masa sama umatnya sendiri, masa salah-salah sih, tidak bisa. Kurang harus ditambahi. Kalau sampai lupa 3 atau 4, syaratnya apa? Sujud sahwi. Nabi Muhammad sendiri kurang lebih sudah katanya, enggak ada, harus ada sujud sahwi. Kerana dalam hitungan harus tepat. Tapi kalau dalam urusan, apa namanya, urusan dunia. Jual beli, Mas, berapa harganya? 1,000. Ya Allah kasihan sekali, Mas, murah sekali, kemurahan jualnya, ya Pak, segitu memang harganya. Saya beli 10,000, boleh tidak? Boleh ya. Sekarang ini, saya mahu haji. Saya mahu haji kan, tawaf itu 7 kali, sa’i 7 kali. Kalau mahu tawaf dan sa’inya 7 kali, sayang sekali, jauh-jauh dari Pekalongan cuma tawaf 7 kali. Kenapa tidak ditambahi jadi 8, 10, 70 gitu biar lebih mantap? Ndak boleh ya. Kerana tidak sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad. Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “Khuzwani manasiqakum.” Contohlah dariku cara kalian menunaikan manasiq.
Ada satu cerita gini, Pak, pengalaman saya waktu di Madinah. Ada teman, ya kenalanlah, waktu haji. Ketika haji sudah tawaf selesai, hitungannya 7 benar. Ketika sa’i, rombongan janjian. Nanti kalau sudah selesai, tidak usah rombongan bareng-bareng. Kalau sudah selesai, ketemu di tiang jam yang di depan marwah tempat cukur. Waktu itu gampang, hanya ada satu tiang. Sudah sepakat,
ketemu rombongan semuanya sudah kumpul. Tinggal satu orang, Pak. Ditunggu satu jam belum datang, akhirnya diputuskan tinggal saja sudah. Wong anak muda nanti bisa kembali. Saya kembali ke tenda, marah-marah si pemuda tersebut. Kalian ke mana saja kok lambat sekali? Tawaf sudah selesai, asainya. Akhirnya ditanya, lambat gimana? Kita nunggu kamu sudah satu jam ada datang kok. Kita dibilang lambat ada. Dia nanya, kalian selesai jam berapa? 10.00. Ha, saya baru selesai 12.00. Kok bisa? Akhirnya mereka ribut. Akhirnya saya tanya, Pak, sa’inya berapa kali? Ya 7 kali. Saya tanya, gimana ini? Sofanya, marwah, sofa sekali. Saya bilang ya pantas, Pak, bapak kemurahan, sa’inya 14 kali kok bisa? 14 kali kan Pepe kemurahan, Pak. Saya bilang sa’i itu dari sofa ke marwah satu, marwah ke sofa satu lah. Bapak ini, Masya Allah, setangkep kata orang sofa marwah, marwah sofa. Makanya bapak telat. Iya tadi saya sampai capek lecet-lecet paha saya. Ya kerana bapak kemurahan dalam sa’inya, salah Pak, kelebihan itu kelebihan. Jadi dalam urusan ibadah hitungan itu harus pas.
Namun dalam urusan dunia, ada orang jual gorengan, Pak. Dijual 1,000, kasihan sekali. Saya beli 100,000, pisang goreng satu bijinya 100,000, boleh tidak? Beda tidak, kelebihan itu Pak, tapi tidak bid’ah. Ya kan, urusan dunia bebas, urusan dunia. Dalam hitungan, kita harus mengikuti sunnah Nabi. “Sallu kamaru aitumuni usali.” Ini kata para ulama, pintu pertama terjadinya fitnah dalam ibadah iaitu salah hitungan. Solatnya berlebih, jumlahnya berlebih. Dalam Islam, rukun Islam itu hanya ada berapa Pak? 5. Kalau ada yang bilang tidak, tambahi jadi 6. Maka kita sepakat itu terlarang. Tidak mungkin ada rukun Islam yang ke-6. Rukun Islam di mana pun sampai kapan pun hanya ada 5. Kalau sampai ada yang mengatakan ada satu lagi, apa itu? Nasionalisme. Salah. Kerana Islam agama untuk alami, alam semesta, bukan agama Indonesia. Makanya salah besar ketika ada yang mengatakan ini Islam Arab, ini Islam Pekalongan, nanti ada Islam RT 1, ada Islam RT 2. Islam itu tidak dipetak-petakkan dengan teritorial negara ataupun suku atau bangsa kerana Allah telah menegaskan, “Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin.” Ibnu Muhammad, kami tidaklah mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. “Bu’tu ilan nasi kafa”, aku diutus ke seluruh manusia.
Jadi, menurut para ulama, alasan pertama kenapa satu amalan dikatakan bid’ah itu adalah kerana apa Pak? Salah hitungan. Membuat hitungan sendiri tanpa dasar dalil itu adalah bid’ah. Walaupun amalannya benar, solat Subuh, tapi kalau ditambahi menjadi 3 rakaat, 4 rakaat, maka sepakat para ulama mengatakan itu adalah bid’ah. Itu adalah bid’ah, sehingga tidak boleh, sehingga itu terlarang. Jadi ibadah apa pun yang jumlahnya tidak ada aturan dalam syariat, tidak dicontohkan, maka itu adalah satu ibadah yang salah. Sebaliknya, dalam ibadah-ibadah yang tidak ada batasan jumlah, maka juga tidak boleh diberi batasan. Yang ada batasan tidak boleh dirubah-rubah. Seperti orang sedekah sunnah, sedekah sunnah itu bebas. Yang mahu 1,000 boleh, 1,000,000 boleh, 1 miliar boleh, sedekah sunnah. Tapi kalau sampai ada aturan, Mas, kalau sedekah itu yang sah minimal 100,000. Kalau kurang dari 100,000 tidak sah, tidak diterima. Ini juga ucapan perkataan yang bid’ah. Sedikit banyak diterima sama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun urusan zakat, zakat ada nisabnya, Pak. Zakat ada nisabnya.
Misalnya, zakatnya kambing. Yang punya 40 kambing wajib dizakati asalkan kambingnya digembala, bukan kambing yang diberi pakan di kandang. Nah, kalau ada yang mengatakan wajib bagi yang punya satu ekor kambing untuk dizakati, maka ini termasuk perkataan yang menyelisihi syariat dan ini terlarang. Kenapa? Islam hanya mewajibkan zakat atas orang yang telah memiliki 40 ekor kambing. Kalau sampai ada yang merubahnya, ndak.
Sekarang jarang yang punya kambing, yang punya motor adanya motor. Kemudian dikatakan yang punya 40 motor wajib zakat, yang kurang dari 40 motor adalah halal. Yang bisa dikatakan beda, kenapa? Hitungannya tidak ada batasan dalam syariat kemudian dibuat batasan atau batasannya hitungannya dirubah, ini adalah bid’ah. Ini pintu pertama dari fitnah. Suatu amalan dikatakan fitnah adalah ketika hitungannya jumlahnya tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam. Kerana itu diharapkan tidak ada yang solat subuh jadi tiga rakaat. Kerana kalau sampai tiga rakaat, sepakat para ulama itu adalah bid’ah.
Saya mahu bertanya kembali agar kita tahu kenapa amalan itu dikatakan bid’ah. Yang kedua, setelah kita tahu apa hitungannya, saya ingin sekarang masalah tempat, Pak. Masalah tempat, kalau kita sekarang lihat saudara kita yang waiting list haji itu, MasyaAllah, ada yang 11 tahun, ada yang 12 tahun, bahkan ada yang sampai 15 tahun lama daftar tunggu untuk bisa haji. Kenapa? Kerana hajinya harus di mana, Pak? Di Mekah sana, Pak. Kalau kita usul pemerataan, gimana kalau hajinya ini di Pekalongan saja? Kan ada tu tanah lapang, masjid jamiknya Pekalongan juga besar. Kenapa kita tidak haji di sini saja, buat Kaabah? Bangunan Kaabah itu murah kok, Pak, batu hitam ndak mahal-mahal. Boleh ndak haji ke Pekalongan, Pak? Daripada waiting list 14-15 tahun, jemaah haji Pekalongan hajinya di Pekalongan saja, boleh ndak, Pak?
Fitnah bukan? Haji Pekalongan bukan haji Mekah. Saya yakin semua umat Islam sepakat hajinya bid’ah. Kenapa? Tempatnya salah. Walau syarat rukunnya semua terpenuhi, tapi kalau salah tempat maka tidak dibenarkan dan itu adalah bid’ah. Kalau sampai ada yang mengusulkan hajinya dirubah, ingat Allah Subhanahuwataala menceritakan satu kisah bagaimana di zaman dulu pernah ada usulan agar haji itu dipindahkan bukan ke negeri Arab, bukan ke Mekah, tapi ke Yaman. Kisahnya Abrohah. Allah kisahkan dalam surat Al-Fil, “Alam tara kaifa fa’ala rabbuka bi ashabil fil”. Bagaimana dahulu Abrohah ketika melihat orang-orang Arab kalau haji ke Mekah singgah, Quraisy sebagai penduduk setempat secara ekonomi mendapatkan keuntungan besar dan dihormati oleh seluruh orang Arab.
Abrohah mengatakan, “Apa keistimewaannya Mekah? Kaabah itu apa sih? Batu, bangunan dari batu. Mekah itu juga tanah gersang. Kenapa tidak ke Yaman saja? Negeri yang subur, pertaniannya bagus, kemudian negaranya kaya.” Maka Abrohah membuat bangunan terbuat dari emas, bukan hanya Kaabah. Kaabah itu emasnya hanya ada di talangnya, itu kecil ya. Abrohah buat bangunan besar semuanya terbuat dari emas, sehingga dia menyeru kepada semua orang Arab untuk hajinya ke Yaman. Lebih mewah, pelayanannya lebih bagus, negerinya lebih makmur, tidak seperti negeri Mekah yang panas luar biasa. Mendingan ke Yaman, negeri pesisir subur, bangunannya lebih mewah.
Ternyata Allah abadikan kisah itu. Kisah keinginan seorang raja yang memindahkan tempat ibadah dari Mekah ke Yaman. Allah hancurkan, sehingga Allah utus burung Ababil yang membawa bebatuan dari neraka spesial. Tidak dihancurkan dengan gempa bumi, tsunami, atau petir atau yang lainnya. Allah datangkan seksa dari neraka langsung. Allah kirimkan bebatuan dari neraka yang dibawa oleh burung Ababil dan kisahnya makruf. Kita diajarkan kisah itu sejak kita masih kecil, cerita burung Ababil. Alasannya adalah kerana keinginan memindahkan tempat ibadah.
Jadi dalam urusan tempat, ternyata ibadah-ibadah dalam Islam itu ada yang dibatasi tempatnya. Semisal haji dan umrah. Sehingga kalau sampai ada sekarang yang mengatakan haji itu boleh ke Pekalongan, maka saya yakin semua orang akan mengatakan itu bid’ah. Ajaran itu bererti ajaran fitnah seperti yang diinginkan oleh siapa? Abrohah. Allah hancurkan mereka. Kenapa? Salah tempatnya.
Kerananya, urusan ibadah kita harus tahu di manakah kita harus beribadah. Dan dalam Islam, seperti tadi dijelaskan bahawa ibadah dalam Islam telah dijelaskan tempatnya. Ada ibadah-ibadah yang memang tempatnya tidak bisa diganggu gugat, hanya di sana, iaitu di Mekah, iaitu untuk haji. Namun ada ibadah-ibadah yang boleh dilakukan di mana saja, berzikir. Berzikir tidak harus di rumah, tidak harus di masjid, di mana pun kita berada. Seperti yang Allah tegaskan adalah zina yang turun. Allahah kiamat wa Quran wala junubin, yang berzikir kepada Allah sambil berdiri, sambil duduk, sambil tidur. Berzikir di mana pun saja boleh tanpa ada batasan. Namun, kalau diingat juga, ada tempat-tempat yang secara syariat dilarang untuk digunakan sebagai tempat ibadah. Kalau tidak percaya, silakan solat di toilet. Kenapa? Mas antri di toilet saya mahu solat di mana? Di dalam toilet. Silakan, nanti dengar apa kata orang. Kata orang sudah mulai berubah itu apanya? Akal sihatnya. Solat kok di toilet.
Lah, terus kalau mahu buang kencing di dalam masjid, boleh tak, Pak? Masjid bukan tempat buang hajat, tapi buat solat. Kerana itu di zaman Nabi pernah terjadi satu kejadian unik seperti ini, Pak. Datang seorang Arabi, seorang Badwi. Badwi itu cuek luar biasa. Masuk ke masjid, terasa ingin buang hajat, ingin kencing. Maka dia mojok ke sudut masjid langsung kencing. Terlebih waktu itu masjidnya belum pakai karpet, belum pakai marmer, belum pakai lantai jadi tanah pasir lantainya. Maka Badwi ini enggak peduli orang lagi kumpul. Yang penting saya buang hajat, kencing di sudut masjid. Maka para sahabat geram Arab Badwi tersebut hendak dipukuli. Kenapa kurang ajar masjid dijadikan tempat kencing. Namun Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam mengatakan, “Daru biarkan dia.” Kerana sudah terlanjur kencing, kalau dihukumi, dihakimi, malah nanti dia lari ke sana ke mari, kencingnya malah ke mana-mana. Atau kalau dihakimi, kerana saking takutnya, berhenti kencingnya. Dia orang itu jadi sakit. Kasihan. Sudah terlanjur, dia sudah, biarkan dia selesai.
Kemudian setelah Arab tadi, orang Badwi tersebut selesai dari kencingnya, Nabi memanggil dia, “Ahmad ta’alam tidakkah engkau tahu bahawa masjid ini inahari Hilman sajit Ina mahial Ika mati salah 1 masjid tu hanya untuk solat untuk membaca Al-Quran dan bertasbih kepada Allah Subhanahuwataala walau yasrululli syeikh in hazil qadurat katanya dan tidak cocok tidak boleh digunakan untuk buang kotoran seperti ini.” Jadi ternyata tempat pun ada aturannya. Kalau masjid ya tempat untuk solat, kalau toilet ya tempat untuk buang hajat. Tidak boleh dibalik. Di antara tempat yang dilarang untuk digunakan ibadah adalah kuburan. Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam menyatakan, “Lataja alubuyu takum maka birah.” Jangan kalian jadikan rumah kalian tu seperti kuburan. Ada rumah orang Islam yang seperti kuburan. Lalu apa ya Rasulullah caranya bagaimana kiatnya agar rumah kita tidak seperti kuburan? Nabi memberikan contoh, “Faina syaitana yanfiru minal baitilladi tukrufiah surah Al-Baqarah.” Kerana setan itu akan lari menjauh dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah.
Sehingga serologikannya makmum khalafahnya dalam bahasa Arab kalau rumah yang tidak dibacakan Al-Quran seperti kuburan, bererti kuburan itu bukan tempat membaca. Bukan tempat apa pak? Antum yang bilang loh, bukan saya. Saya tadi mahu bilang ndak tega, tapi antum sendiri yang bilang. Jadi cara logikanya kalau Nabi mengatakan jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, kerana sejatinya setan itu lari menjauh dari rumah yang dibacakan surat Al-Baqarah. Sehingga logikanya makmum mukhalafahnya, analoginya kita akan menyimpulkan, bererti kuburan bukan tempat untuk membaca Al-Quran. Kenapa? Kerana kuburan bukan
tempat ibadah. Kuburan tempat untuk menguburkan orang yang sudah tidak bisa beribadah. Ibadah itu adalah amalannya orang yang masih hidup. Yang hidup baik di rumah, di mana pun dia beribadah, tapi kuburan itu tempatnya orang yang sudah tidak bisa ibadah. Rumah itu tempatnya orang yang masih bisa ngaji, tapi kuburan itu tempatnya orang yang sudah tidak bisa ngaji.
Kerana itulah para ulama mengatakan, kalau mahu ngaji ya di rumah jangan di kuburan. Kalau sudah di kuburan ngaji, bererti bapak itu sudah pengen berhenti ngaji. Kerana orang yang sudah berhenti ngaji itu akan segera dihuni, diberikan rumah spesial di mana? Pak, di kuburan. Kalau bapak masih ingin ngaji ya di rumah, di masjid, di tempat lain. Kalau sudah berhenti ngaji maka akan segera kita carikan rumah spesial, rumah idaman setiap insan. Ini analoginya seperti itu. Kerana itu dalam urusan ibadah, para ulama menjelaskan, harus diingat tempatnya. Di sinikah tempatnya? Kalau memang ya, silakan. Kalau bukan tempatnya, jangan. Kerana urusan tempat dalam Islam juga penting, Pak. Urusan tempat itu penting. Orang yang menjalankan ibadah salah tempat bisa jadi dianggap fitnah. Seperti orang tadi yang haji ke Pekalongan, hajinya kepala bukan ke Mekah. Ini jelas-jelas bid’ah.
Kita sudah mengetahui dua hitungan tempat. Yang ketiga, Pak, suatu amalan dikatakan bid’ah adalah urusan waktu. Seperti sekarang, Pak, biar pengajian kita tidak terputus, gimana kalau maghribnya diajukan saja, Pak? Usul sekarang, kita solat maghrib, pengajiannya bisa langsung sampai malam dijamak. Sekarang majukan belum terbenam matahari, bolehkah kita mendirikan solat maghrib? Tentu tidak. Kenapa? Salah waktu. Kalau nekad solat sekarang, maka tidak sah dan harus mengulang. Sehingga kalau ada usulan rapel, Pak, daripada solat lima waktu kan susah. Malam itu capek, subuh itu masih ngantuk, enak-enaknya tidur. Di rapel saja, Pak, kita solatnya 10.00 pagi, 7.00 pagi, lima waktu solat kita rapel. Boleh ndak? Bid’ah bukan? Bid’ah ya. Jadi urusan waktu harus tepat waktu. Kalau sampai salah waktunya maka kalau itu terus-menerus disengaja maka dianggap sebagai amalan bid’ah.
Seperti yang dilakukan oleh orang musyrikin Quraisy. Quraisy dahulu, Pak, permainan bulan. Kalau Amerika itu katanya mahu ke bulan, kalau orang Quraisy dulu sudah bermain bulan, Pak. Kok bisa? Ya, bulan itu diajukan dan diundurkan sama Quraisy. Kalau mereka mahu nyerang, mahu perang, terlanjur sudah tiba bulan Rajab, maka Rajabnya dipindah. Rajabnya diundur saja dua bulan lagi. Kita mahu perang dulu, selesai-selesai perang, baru. Nah, sekarang Rajabnya baru datang. Bulan itu diajukan dan diundurkan. Zulhijah kita belum punya bekal, mundur. Atau pas musim panen, perdagangnya lagi bagus, ah,
Sekarang, gereja sekarang diajukan itu tradisinya orang Quraisy yang kemudian Allah ceritakan. Inaman nasi uziadatun filkufri sejatinya nasi ah tradisi Quraisy mengajukan mengundurkan bulan. Kalau pengen segera haji, diajukan. Kalau pengen ditunda, maka ditunda bulannya. Ini kata Allah Subhanahu wa Ta’ala ziadatun filkufri. Itu adalah praktik kekufuran yang keterlaluan, menambah kekufuran mereka. Selain mereka nyembah berhala, bentuk kekufurnya lagi ingin menyayangi Allah, ingin mengajukan mengundurkan bulan. Subhanallah, nah urusan waktu dalam Islam itu penting, tidak bisa ibadah itu diajukan diundurkan waktunya. Kita harus tepat. Kalau sampai salah waktunya, maka bisa jadi ibadah kita tidak sah. Haji kita tidak sah, puasa kita tidak sah, solat kita tidak sah.
Misalnya sekarang ada modernisasi puasa. Kerana sekarang zaman industri, rata-rata kaum muslimin ini karyawan kantor perusahaan. Bagaimana kalau puasanya dibalik saja malam hari? Kenapa? Mandi siang yang penting kan menahan lapar, menahan haus, tidak berhubungan badan dengan isteri. Sudah, dibalik saja, biar malam puasa, siangnya kita tetap bisa bekerja sehingga tidak mengurangi produktivitas, tidak mengurangi, tidak menghambat orang yang ingin nyangkul bekerja. Kira-kira boleh ndak pak dibalik puasanya? Atau puasanya dibalik dibagi pemerataan? Daripada sebulan berturut-turut, akan lebih ringan kalau setiap bulan 3 hari atau 2 hari dibagi bagi puasanya. Boleh ndak? Tentu tidak boleh. Sepakat kaum muslimin, puasa yang tidak pada waktunya itu tidak sah. Bahkan kalau disengaja dan nekad, maka itu adalah amalan fitnah.
Makanya setiap tahun, pak Indonesia ini ribut masalah apa? Rukyah atau hisab, rukyah atau hisab. Kenapa? Kerana masing-masing ingin menentukan waktu puasa yang tepat, tidak mahu salah. Kenapa sih tidak kompromi? Sepakatin aja. Kenapa sih ndak? Kerana kalau tidak pakai rukyah bererti tidak sah, dan satu lagi mengatakan cukup pakai hisab. Ribut, alasan penentuan waktu mahu masuk Ramadan ribut, mahu keluar dari Ramadan pun ribut lagi. Urusannya apa? Urusan waktu. Jadi urusan waktu ini penting dalam hal ibadah. Kalau sampai ibadah kita salah waktu, maka ibadah itu dikatakan sebagai bidaah. Orang puasa kok bidaah ya pak, tapi salah waktu. Orang solat kok bidaah ya pak, kerana apa? Salah waktu. Jumaat tanya hari Jumaat kan ingin hari kantor pak. Ya kasihan lagi ngantar, kok suruh jumaatan. Kenapa ndak diganti mingguan saja pak, mumpung hari libur kerja, sehingga tidak menyusahkan, tidak mengurangi produktivitas umat Islam. Dipindah aja pak di Indonesia menjadi mingguan. Kira-kira boleh ndak pak? Ndak usah jumaatan, solatnya ganti mingguan. Tentu tidak boleh. Tentu tidak boleh kalau sampai ada solat mingguan itu namanya fitnah. Jumaatan di hari Jumaat tidak bisa dipindah menjadi mingguan. Jadi urusan waktu penting, kita harus mengikuti teladan nabi, mengikuti ajaran nabi tentang urusan waktu. Jadi sudah ada 3 unsur yang kalau tidak terpenuhi, maka amalan tu dikatakan bidaah: jumlahnya, tempatnya, yang ke-3 apa pak? Waktunya. Yang ke-4 tata caranya.
Cara solatnya. Solat ini sekarang kan zaman banyak penyakit pak, agar umat Islam ni sihat digalakkan olahraga. Tapi kalau harus olahraga makan waktu solatnya aja dibuat senang. Solatnya senam, seperti yang dilakukan setiap pagi. Senam itu senam kesegaran jasmani atau apa lagi, apa lagi? Bagaimana kalau kita rubah seperti solatnya? Saya yakin semua orang mengatakan solatnya bidaah. Nah di Jawa ada 1 ide brilliant. Katanya pak, menunjukkan orang itu hebat. Kenapa? Kerana sudah bisa baca Fatihah sungsang. Baca Fatihah seperti antum ini ndak hebat. Alhamdulillah rabbil alamin aqiqah bisa, tapi saya yakin walau umur 80 tahun hafal al-Quran, kalau suruh baca Fatihah sungsang saya yakin kerepotan. Siapa yang bisa pak? Baca fatihahnya dari belakang. Pak, ada pak yang bisa baca fatihahnya dari belakang, bukan dari depan. Itu hebat. Jadi kalau solat bacaan fatihahnya alhamdulillah ya rabbil alamin aa kuno, saya mahu solatnya kan sama-sama fatihahnya, tidak dikurangi satu huruf pun, tapi dibaca dari belakang yang diistilahkan dengan Fatihah sungsang. Kok sungsang iya, kerana kebalik dibaca dari belakang seperti anak yang lahir itu harusnya kepala dulu tapi mahunya kakinya dulu. Itu namanya sungsang, kebalik. Nah ini solatnya baca Fatihah sungsang.
Jangan hairan nanti kalau ada orang yang ingin praktik pak. Kok fatihahnya baca apa ini? Enggak pernah dengar. Betul, bacaan Fatihah sungsang ini saya yakin kalau sampai ada imam baca Fatihah sungsang insyaAllah ndak selamat keluar dari masjid, digebuki oleh rakyat, dibogol oleh masyarakat. Kenapa? Ini baca apa? Baca mantera atau baca Fatihah. Dengar-dengarnya pakai bahasa Arab kok ertinya ndak karuan, kata-katanya ndak jelas, ndak seperti Fatihah yang ada. Nah ternyata ngaji pun, membaca al-Quran pun harus caranya benar, tidak bisa dibolak balik. Orang wuduk pak, wuduknya kaum musliminnya dari muka, tangan, usap kepala. Dibalik saja pak ndak apa-apa, kakinya dulu terus kepalanya, terus tangannya baru wajahnya. Boleh ndak pak? Para ulama mengatakan ini sudah dibahas pak dalam kitab-kitab fiqih yang disebut dengan al-wuduk al-munaqas, wuduk yang kebalik. Kalau sampai ada orang yang nakal, iseng seperti ini, dia wuduknya kebalik, sah apa tidak? Kata para ulama sepakat tidak sah. Jadi kalau dia membasuh kaki, mengusap kepala, tangan, dan wajah yang dihitung cuma wajahnya saja. Sedangkan tangan wajahnya dianggap belum dibasuh walau sudah basah kuyup. Kenapa? Wuduknya sungsang, kebalik.
Jadi urusan ibadah dalam Islam, tata caranya harus benar. Cara solatnya benar, kemudian cara bacanya benar, dan lain semuanya sesuai dengan ajaran nabi. Seperti yang dijelaskan nabi, “Sallu kamaruaitumuni usali,” solatlah seperti kalian melihat aku solat. Seperti yang dilakukan nabi, tidak boleh ada inovasi, tidak boleh ada tata cara baru. Sampai pun kalau Fatihah dibalik, maka para ulama mengatakan tidak sah. Sebahagian orang kerana zaman sekarang itu zaman seni, Pekalongan ini kota batik yang identik dengan jiwa seni. Ketika membaca takbir, ingin dibuat merdu, ingin dibuat lebih syahdu. Gitu pak, kalau orang Arab takbir itu Allahuakbar. Orang Pekalongan biar lebih merdu, lebih jawani gimana caranya? Allahuakbar. Muazin itu pak banyak yang membaca takbirnya Allahuakbar, jadi barnya itu ada matnya panjang. Kalau orang Arab Allahuakbar, tegas.
Orang Arab kalau orang Pangalong, kan lembut, merdu. Azannya Allahuakbar, kata para ulama tidak sah pak, azannya pak. Kenapa? Akbar itu ertinya gendang seperti ketipung itu. Kerana Akbar itu jemaah dari khabar. Khabar itu adalah ketipung, seperti alat muzik, sehingga ertinya rosak pak. Jadi kalau membaca takbir harus benar. Makanya ada ilmu tajwid. Kenapa sih anak-anak harus diajari tajwid? Agar bacanya benar. Ketika salah baca yang tidak panjang dipanjangkan, yang pendek dipanjangkan, yang panjang dipendekkan, rusak ertinya. Kalau rosak ertinya, rosak ibadah kita. Allahuakbar. Ada lagi mengatakan tidak seperti itu. Biar fasih membaca takbirnya Allahuakbar. Mantap pak, Allahuakbar ditambahi ada hua Allahuakbar. Marem, kelihatan fasih tapi itu salah besar. Kenapa? Ada ketambahan buah Allahuakbar. Kalau baca takbir benar Allahuakbar.
Kalau sampai ada ketambahan Allahuakbar, walau mahram salah, solatnya tidak sah. Kalau sampai solat dengan Allahuakbar tak sah solatnya pak, segera ganti imam. Segera ganti imam, kerana solat imamnya tidak sah. Merubah takbir perkataan Allahuakbar itu bukan takbir. Yang namanya takbir itu adalah ucapan Allahuakbar. Silakan tanya ke kiai siapa saja akan dibilang kalau Allahuakbar itu bukan takbir. Makanya kalau kita belajar ilmu fiqih, para ulama itu sudah ngajari pak cara membaca takbir yang benar. Cara membaca takbir yang benar tidak boleh ditambahi wau, tidak boleh ditambahi alif dengan mengatakan Allahuakbar.
Apa lagi kalau alifnya ditambahkan di depan Allahuakbar, ada tambahan alif yang artinya tanda tanya. Apakah Allah itu Maha Besar? Mahunya solat malah jadi musyrik, pak. Kena ragu apakah Allah itu Maha Besar. Ini kan berarti malah dia tidak percaya kalau Allah Maha Besar. Jadi, membaca takbir saja caranya harus benar.
Makanya kita itu penting belajar ilmu tajwid, belajar pada para kiai dan para ulama agar takbir pun benar. Nah, kalau mahu jadi imam takbir pun salah, maka solatnya tidak sah. Kenapa tidak sah? Cara membacanya tidak benar. Cara membacanya tidak benar. Rukuk sebelum sujud itu adalah solat yang diajarkan Nabi. Tapi kalau sujud sebelum rukuk, ini solat yang jelas-jelas fitnah. Jelas-jelas fitnah. Kenapa? Tidak sesuai dengan yang disabdakan Nabi: “Sallu kamaruaitumuni usali.” Jadi, satu amalan dikatakan bidaah.
Alasan ke-4 adalah kerana apa, pak? Tata caranya. Caranya tidak benar, ya bidaah, pak. Solatnya dibalik. Baca Fatihahnya dibalik atau bacaannya tidak benar. Sebahagian orang ingin fasih dengan membaca takbir “Allahuakbar” jadi ‘Ain semuanya. Pak, Allahuakbar itu menggunakan hamzah. Tapi agar kelihatan Arab fasih, Allahuakbar menggunakan ‘Ain. Salah. Kalau ditanya kenapa salah, salah cara bacanya. Tapi kan mantap, ‘Ain semuanya. Ya, ini salah besar. Menyebabkan solat kita tidak sah.
Jadi, satu amalan dikatakan bidaah kapan? Kalau tata caranya tidak benar. Jadi, kita sudah ada hitungan jumlahnya, waktu, tempat, dan yang ke-4 apa? Tata cara. Jadi kalau tata caranya tidak benar, solat tatacaranya tidak benar, maka tidak sah. Makanya para ulama dari sejak zaman dahulu mengajarkan bahawa ibadah itu ada syarat, ada rukun, ada wajib, ada sunnah-sunnahnya. Kenapa diajarkan semuanya itu? Agar kita bisa solat dengan benar. Kalau tidak memenuhi syarat rukunnya, yang di antara rukunnya itulah tertib, urut solatnya seperti yang dilakukan Nabi, maka solat kita tidak sah.
Ini alasan ke-4 kenapa suatu amalan itu dikatakan bidaah. Kemudian, alasan ke-5 suatu amalan dikatakan bidaah dalam Islam adalah jenis amalan, pak. Kalau bapak lihat, perhatikan ibadah yang ada dalam Islam itu semuanya hanya terangkum jadi 5, pak. Seperti rukun Islam, ibadah dengan ucapan seperti zikir, baca Al-Quran, dan yang lainnya itu seperti baca syahadat. Sejenis itu zikir kepada Allah. Ibadah dengan solat berbagai macam solat, solat wajib, solat sunnah, itu adalah rukun Islam ke-2.
Ada jenisnya jenis solat, ada ibadah jenis zakat memberikan uluran tangan manfaat harta. Ada ibadah menahan hawa nafsu, yaitu ibadah puasa. Yang ke-5, komulasi dari semua jenis ibadah yaitu haji. Ada ucapan lisan zikirnya, ada hartanya kerana harus ke Mekah, pak. Ndak gratis ke Mekah itu. Kemudian juga ada menahan hawa nafsu di Mekah ketika haji, tidak boleh berhubungan badan, tidak boleh mengumpat, tidak boleh berburu, tidak boleh berkata-kata keji, berbohong dan yang lainnya. Inilah jenis ibadah. Semuanya terangkum dalam terwakili dalam apa? Rukun Islam.
Kalau ada orang ingin beribadah dengan cara baru, jenis ibadah baru, apa itu? Semedi. Laosmedi, pak. Ya, diam 1,000 bahasa di mana? Di pinggir sungai. Kalau Sunan Jogo Kal itu sudah meninggal, ini mahu ada Sunan baru Sunan Jogo Kali modern milenium. Kenapa? Ada semedi di pinggir kali. Ngapain? Ibadah lah. Terus gimana solatnya? Dia lagi ibadah semedi katanya. Ini tidak benar. Kerana apa? Dalam Islam tidak pernah ada ibadah membisu, tidak pernah ada.
Kerana itu suatu hari ada seorang sahabat yang dia mengira boleh sesuka hatinya beribadah dengan cara apa saja, dengan amalan apa saja. Abu Israel tu seorang sahabat Nabi, di hari Jumaat dia berdiri di terik matahari membisu diam 1,000 bahasa dan di bawah terik matahari. Maka Nabi yang sedang khutbah hairan sedang khutbah Jumaat. Nabi menghentikan khutbahnya dan bertanya kenapa orang itu dari tadi kok berdiri. Pada awalnya dikira wajar orang baru mahu datang, tapi ternyata kok berdiri terus. Maka Nabi menghentikan khutbahnya dan bertanya siapa dia ini, apa yang dia lakukan. Maka para sahabat menjawabnya Rasulullah, Hada Abu Israil. Dia itu namanya Abu Israel, nazarolillah. Dia bernazar. Nazarnya apa? Aniasum, puasa. Aniyakum, berdiri. Waliya takalam, membisu tidak berbicara. Dan walaya stabil, tidak berteduh. Dia berdiri di binti terik matahari.
Maka Nabi Sallallahu ‘alaihi wasallam segera mengatakan, “Muru, segera perintahkan dia untuk duduk, untuk berbicara, untuk apa? Berteduh dan tidak berdiri. Duduk, berteduh, berbicara, dan melanjutkan puasanya.” Jadi Abu Israel nazarnya ada berapa, pak? Puasa, berdiri, tidak berbicara membisu, dan yang ke-4 di bawah terik matahari. Yang 3 oleh Nabi diingkari. Tidak boleh membisu kerana dalam Islam tidak ada ibadah membisu. Tidak boleh berdiri terus menerus kerana dalam Islam tidak ada ibadah berdiri. Dalam Islam juga tidak ada ibadah menjemur diri di bawah terik matahari. Yang ada puasa. Betul. Nazar puasa wajib ditaati. Maka Nabi mengatakan, “Perintahkan dia segera duduk, berbicara, dan berteduh. Selanjutnya dia meneruskan puasanya.” Silakan puasa yang diteruskan.
Jadi, ibadah itu bukan kreasi, bukan inovasi. Ibadah itu harus seperti yang Allah tegaskan, “Wama at-taqumul Rasulullah fahhuzu wama nahakmal hufan tahu.” Apa pun yang diajarkan Nabi, terima dan apa pun yang dilarang maka tinggalkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menegaskan, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.'” Jika kalian mengaku cinta kepada Allah, buktinya apa? Bukan asal ibadah. Orang niatnya baik, kok beribadah kenapa dilarang-larang? Dia kan ingin beribadah kepada Allah dengan cara apa, semedi di dalam gua? Tidak benar. Dalam Islam tidak ada ibadah membisu. Dalam Islam tidak ada ibadah membisu. Yang ada puasa, solat, haji, sedekah, atau zikir. Kalau jenis ibadah ini, maka boleh. Tapi membisu tidak ada contohnya. Tidak ada jenis ibadah membisu, apa lagi ibadah menyeksa diri.
Suatu hari, ketika nabi sedang berangkat haji pada haji Wada, beliau melihat seorang tua renta dipapah oleh anaknya. Nabi hairan, kenapa orang tua ini kok jalan sampai engkau kelelahan, kenapa tidak istirahat? Ya Rasulullah, dia bernazar ingin haji berjalan kaki walau sudah tua renta. Lebih maram kalau hajinya jalan kaki. Zaman sekarang ini, umat Islamnya haji naik pesawat dari Jakarta, Jeddah, diangkut bis. Nenek moyang kita itu ibadahnya, masyaAllah, ada yang jalan kaki, dulu ada yang naik perahu, ada yang naik unta. Nabi mengatakan kepada sahabat tadi, “Perintahkan dia untuk menaiki kenderaan kerana Allah tidak senang kalau ayahmu itu menyeksa diri sendiri, membebani, menyusahkan dirinya sendiri. Bisa naik kenderaan, kenapa jalan kaki? Bisa naik pesawat, kenapa naik perahu? Bisa naik perahu, kenapa naik unta?” Jadi, beribadah dengan cara menyeksa diri ini tidak dibenarkan dalam Islam.
Di masyarakat, ada ibadah semacam ini. Puasa putih tidak mahu makan daging, tidak mahu makan macam-macam. Nasi saja. Ada puasa yang hanya makan sayur-mayur saja, seperti haiwan makannya daun-daunan. Ini tidak boleh dalam Islam. Apa lagi dijadikan ibadah, sekadar mengharamkan diri dari sesuatu yang halal. Dalam Islam terlarang. Nabi pernah melakukan hal itu, mengharamkan minum madu, maka turunlah ayat atau surat At-Tahrim, “Wahai nabi, kenapa engkau haramkan sesuatu yang halal untuk engkau makan?” Maka Allah perintahkan dia membayar kafarat. Mengharamkan sesuatu itu dalam Islam tidak boleh. Allah turunkan ayat, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan yang telah Allah ciptakan dan rezeki-rezeki yang toyyib yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya?” Jadi dalam Islam tidak dibenarkan kita beribadah dengan cara menyeksa diri. Dalam sebahagian agama lain, puasa atau ibadahnya dengan menggantung diri di atas pohon, memborgol diri dengan rantai di dalam gua, tidak ingin melihat cahaya, berendam di air. Dalam Islam tidak ada itu.
Jenis ibadah itu hanya terbatas sesuai dengan rukun Islam: ada ibadah zikir, solat, puasa, kedermawanan (sedekah). Inilah jenis-jenis ibadah. Kalau ada orang yang ingin beribadah dengan jenis amalan baru, maka dalam Islam tidak dibenarkan dan itulah yang dianggap bidaah. Kalau ada orang ingin puasa dari sinar matahari, menutup mata, dalam Islam tidak boleh.
Seperti yang terjadi pada tiga orang sahabat. Tiga pemuda ini semangat luar biasa, bukan ingin berzina, bukan ingin mabuk, namun ingin ibadah yang hebat. Ketika orang pertama bilang, biar lebih optimal ibadahnya, dia tidak ingin tidur malam, ingin solat terus. Adapun siang, ya istirahat. Orang kedua mengatakan, “Kalau saya tidak mahu solat, tapi mahu puasa terus menerus.” Orang ketiga ingin lebih hebat, “Kalau saya ingin puasa terus siangnya, kalau malam solat terus, tidak mahu tidur.” Ketika cerita ini sampai kepada nabi, nabi mengatakan, “Apakah kalian yang bertekad demikian?” Mereka mengatakan, “Betul, ya Rasulullah, kami merencanakan itu.” Nabi mengatakan, “Sungguh demi Allah, aku adalah orang yang paling khusyuk, paling takut, paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian. Walau demikian, aku itu puasa, kadang berhenti dari puasa. Aku itu solat, juga tidur. Aku itu beribadah dan juga menikahi wanita. Barang siapa yang tidak suka dengan cara ibadahku, maka dia tidak termasuk dari golonganku.”
Jenis ibadahnya pun harus sesuai dengan ajaran Rasulullah. Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam tidak boleh ada yang mengatakan, “Saya tidak mahu menikah, beribadah dengan cara tidak mahu menikah, lalu vasektomi misalnya.” Haram, tidak boleh. Kerana itu bukan ibadah, memutus syahwat sama sekali diharamkan oleh para ulama. Tidak dibenarkan kerana tidak ada ibadah dengan cara meninggalkan syahwat secara mutlak. Yang ada, syahwat itu diatur, dikendalikan. Tapi diputus sama sekali tidak benar, tidak boleh. Bahkan Rasulullah mengatakan, “Dirimu itu punya hak, tunaikan haknya.” Memenuhi syahwat, memenuhi kebutuhan biologis itu adalah tuntutan hak kita yang harus kita penuhi. Ibadah bukan bererti harus berhenti dari kehidupan dunia. Ibadah bukan bererti harus memutus sama sekali seluruh selera syahwat kita. Tidak. Beribadah tetap beribadah, memenuhi kebutuhan biologis, penuhi semuanya secara profesional, secara terukur.
Jadi sudah ada berapa pak? Waktu, hitungan jumlah waktu, tempat, jenis ibadah, tatacara ada 5. Masih ada satu lagi pak, menurut beberapa ulama, masih ada dua lagi kapan satu amalan itu dianggap bidaah. Namun sebelum saya lanjutkan, maghribnya jam berapa? Kurang berapa? Kurang 7 minit? Ya 5 minit. Baik, saya tambahkan satu. Nanti insyaAllah yang satunya saya teruskan setelah solat maghrib. Yang keenam, satu amalan dikatakan bidaah menyimpang dari sunnah nabi Sallallahu Alaihi Wasallam ialah urusan hukumnya. Solat 5 waktu itu hukumnya wajib, pak. Tapi kalau sampai dianggap tidak wajib, maka itu bidaah. Solat rawatib itu hukumnya sunnah. Kalau sampai dianggap wajib, maka itu adalah bidaah. Makan pisang itu hukumnya mubah. Tapi kalau sampai wajib hukumnya makan pisang bahkan itu merupakan syarat sahnya solat, maka itu bidaah, pak. Tapi orang makan pisang sebelum solat boleh tidak? Boleh. Tapi mewajibkan makan pisang sebelum solat itu hukumnya fitnah. Ziarah ke kuburan orang tua boleh tidak? Sunnah, pak. Ziarah ke kuburan kerana itu mengingatkan kalian akan kematian. Tapi kalau saya mengatakan tidak sah hajinya kalau sebelum berangkat haji belum ziarah kuburan orang tuanya, belum ziarah kuburan kyainya, gurunya, ini adalah fitnah. Tapi kalau ada orang ziarah kuburan selanjutnya berangkat haji tanpa ada dikait-kaitkan, tanpa diwajibkan, maka boleh itu bagus. Tapi jangan diwajibkan. Ziarah kuburan kapan saja. Tidak harus ketika hendak berangkat haji. Membaca al-Quran kapan saja. Kenapa membaca al-Quran nunggu bapanya mati? Jadi kalau bapanya mati baru baca al-Quran, kelmarin ke mana? Kalau bapaknya mati baru ngaji, jadi ngaji itu nunggu bapaknya mati? Kalau tidak ngaji, tidak bapaknya mati, tak usah ngaji. Kalau bapak mati baru ngajilah. Ini yang perlu ditanyakan. Kenapa mesti nunggu bapaknya mati untuk ngaji? Ngaji itu kapan saja. Membaca tasbih kapan saja boleh dianjurkan sebanyak-banyaknya. Tapi kalau diyakini menguburkan mayat kalau belum baca tasbih tidak sah, harus dikeluarkan lagi, baru dimasukkan ulang kalau sudah baca tasbih, nah ini yang masalah. Baca istighfar, baca tahlil lailahaillallah, baca tahmid alhamdulillah ini kapan saja sunnah hukumnya. Yang orang tuanya meninggal atau yang tidak meninggal, yang punya anaknya lahir atau dia lahir, sama saja kapan saja disyariatkan membaca tasbih Subhanallah, alhamdulillah, atau tahlil, atau lailahaillallah, ataupun takbirlah. Kalau dikatakan tahlil itu hanya nunggu mbahnya kalau meninggal dunia, kalau belum meninggal dunia belum wajib, tidak afdhal. Nah inilah masalah. Kenapa membacalah ayat Allah itu nunggu orang meninggal dunia? Kenapa ziarah kuburannya nunggu kalau mahu berangkat haji? Ini masalah. Ziarah kuburan kapan saja hukumnya sunnah. Tapi kalau sudah diwajibkan, ha ini yang jadi masalah. Hukum harus tepat. Tidak boleh diwajibkan yang tidak wajib dan juga tidak boleh sebaliknya. Solat 5 waktu itu mubah seperti tadi. Imam Ghazali sampai mengatakan barang siapa yang meyakini bahawa solat 5 waktu itu tidak wajib, maka dia itu wajib disingkirkan, dihukumi, dibunuh kata Imam Ghazali. Kenapa? Telah merubah hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ini yang bisa saya sampaikan insyaAllah yang ketujuhnya akan saya sampaikan setelah solat maghrib.
Bismillahirrahmanirrahim. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah, Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam waalaikummusalam. Bapak ibu sekalian, alhamdulillah kita melanjutkan kajian kita yang telah kita mulai sebelum maghrib tadi bahawa sering kali isu bidaah, tuduhan hobi membidahkan, suka membidahkan itu menjadi pola liar yang juga asal dituduhkan. Kenapa ini terjadi? Kerana kita sendiri juga ternyata banyak yang belum memahami kapan suatu amalan itu dikatakan bidaah. Kerana itu tadi saya menjelaskan sebelum maghrib bahawa ada 6 hal yang bila tidak terpenuhi dalam satu ibadah, ibadah tersebut bisa dikatakan sebagai amalan bidaah.
Saya akan ulang yang pertama, jenis amalannya. Jika ada orang beribadah dengan jenis amalan yang tidak ada contohnya dari Nabi seperti semedi, berendam di air, dan lain sebagainya, ini adalah satu amalan bidaah. Urusan ibadah kita tidak bisa direkayasa, tidak bisa inovasi.
Kemudian, waktu yang kedua, yang ketiga tempat, yang keempat kadar hitungannya. Ada amalan yang hitungannya ditentukan, ada amalan yang belum atau tidak ditentukan. Yang ditentukan tidak boleh dirubah, yang tidak ditentukan hitungannya juga tidak boleh dibatasi seperti zikir. Zikir bebas, silakan baca tasbih sebanyak-banyak mungkin, tidak harus 1,000, tidak harus 3,000, tidak harus 100,000, bebas. Tapi kalau sudah dibatasi harus 100,000, harus 40,000, nah ini masalahnya. Dari mana kata harus 1,000, harus 2,000, harus sekian ribu itu?
Kemudian setelah kadarnya, tata caranya. Cara solatnya benar, membaca fatihahnya benar, tidak boleh dibolak-balik. Makanya para ulama dalam kitab fikih menyatakan bahawa wuduk yang terbalik itu tidak sah. Kalau itu dianggap sah dan disengaja, maka itu bisa dikatakan sebagai amalan bidaah. Wuduknya bidaah, kerana wuduknya caranya tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam.
Yang terakhir tadi yang telah saya sebutkan adalah hukumnya. Yang wajib harus diyakini wajib, yang sunnah harus diyakini sunnah, yang haram harus diyakini haram. Kalau ada orang sekarang mengatakan, “Saya tidak mahu berzina bukan kerana zina itu haram, tetapi kerana takut aib saja. Jadi kalau bukan kerana takut aib, ya silakan.” Nah, ini namanya bidaah.
Contoh lain misalnya, kita tahu bahawa babi itu hukumnya haram. Kalau ada yang mengatakan babi itu haram kerana ada cacing pita dalam babi, ada penyakit-penyakit yang dikhawatirkan akan menular kepada yang makan daging babi. Nah, kalau sekarang ada yang mengatakan kerana babi itu memiliki nilai ekonomis tinggi dan di zaman sekarang sudah ada teknologi yang bisa memastikan bahawa berbagai macam penyakit yang ada dalam babi bisa dimatikan, cacing pita dipanaskan lebih dari 100 derajat, 200 derajat mati. Berbagai macam virus dan bakteri yang ada dalam daging babi bisa dimatikan dengan pemanasan sekian ratus derajat. Berarti sudah tidak ada penyakitnya, sudah mati semuanya, halal daging babi ini. Keyakinan seperti ini adalah bidaah. Babi haram sampai kapan pun walau sudah tidak mengandung penyakit, walau sudah tidak mengandung cacing pita, sampai kapan pun ilayomil kiamat babi itu haram, kecuali bagi orang yang sedang kelaparan, kalau tidak makan maka akan mati dan hanya ada daging babi dalam kondisi darurat. Tapi bagi orang yang tidak darurat, makan daging babi tetap haram.
Zina haram ilayomil kiamat. Tidak ada darurat untuk zina. “Loh, saya belum bisa nikah, puasa tidak bisa nikah, itu sering kali kerana apa? Hanya faktor kekhawatiran saja belum punya pekerjaan. Sekarang belum ada pekerjaan yang pas.” Nah, ini yang jadi masalah. Sering kali orang ingin pekerjaannya apa, yang berdasi duduk di belakang meja saja, enak. Ini yang harus dirubah. Pekerjaan banyak yang bisa menghasilkan, bisa menikah.
Tapi kalau sudah sampai meyakini seperti tadi merubah hukum Allah, kata Imam Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin,” orang seperti ini wajib dihukumi oleh pemerintah Muslim dibunuh kerana orang ini akan merusak dan merubah tatanan hukum syariat. Bahkan menurut Imam Ghazali, menghukumi orang semacam ini yang merubah-rubah hukum syariat, pahalanya lebih besar dibanding membunuh 120 orang Yahudi. 120 orang Yahudi itu merusak fisik, dia menembak, dia membunuh, tapi dia tidak akan bisa merubah hukum syariat. Tapi kalau sudah ada orang mengatakan, “Kalau kamu sudah zikir geleng-geleng sampai pusing, pengsan, maka berarti kamu sudah sampai tingkatan tinggi dalam ibadahnya, kamu halal makan apa saja, babi halal kerana kamu sudah tingkatannya luar biasa.” Nah, ini perlu diperhatikan.
Nabi orang yang paling bertakwa seperti di dalam hadisnya, “Akan aku adalah orang yang paling bertakwa, paling khusyuk.” Walau demikian beliau tidak pernah makan daging babi, beliau tetap solat 5 waktu, beliau tetap puasa Ramadan, beliau tetap tidak mahu berjabatan tangan dengan lawan jenis. “Saya kan sudah ustaz besar, masa ustaz berzina halal kalau ustaz itu jabatan tangan dengan muridnya siapa saja sudah tidak dikhawatirkan zina.” Subhanallah. Nabi saja masih redul basor, isterinya masih berjilbab. “Kan sudah isterinya ustaz, tak mungkin isterinya ustaz berzina, imannya sudah tinggi, kenapa berjilbab lagi, sudah tidak perlu.” Subhanallah. Isterinya Nabi adalah wanita yang paling bertakwa, walau demikian isteri Nabi masih tetap berhijab berjilbab yang syarie. Jadi hukum harus tetap dipertahankan, baik itu wajib ataupun sunnah, mubah, haram dan makruh, tidak boleh dirubah-rubah.
Kalau sampai ada upaya merubah hukum yang wajib dimubahkan, yang mubah diwajibkan, yang haram dihalalkan, yang halal diharamkan, maka itu adalah bidaah. Itulah bidaah. Jadi ada 6 pintu bidaah yang dijelaskan oleh para ulama dan inilah ke-6 sebab kapan amalan itu dikatakan bidaah. Asal terpenuhi satu dari ke-6 kriteria ini maka semuanya itu dianggap bidaah. Sebahagian ulama menambahkan satu, walaupun ke-6 ini ialah yang paling masyhur sebab satu amalan dikatakan bidaah.
Ada sebuah ulama lagi mengatakan ada satu tambahan iaitu amalan ibadah tersebut tidak meresahkan, tidak mengganggu orang lain. Contohnya, sama-sama solat berjemaah ketika sujud ada yang mengatakan, biar lebih khusyuk, lebih nuansa ibadahnya lebih bagus dan lebih gayeng, kata orang kalau bertasbih dengan keras, “Subhanallah, Subhanallah, Subhanallah,” sujudnya mengganggu orang sebelahnya. Hal seperti ini terlarang dalam Islam.
Suatu hari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam ketika beliau sedang beriktikaf, mendapati sebahagian sahabat yang sama-sama solat sunah di dalam masjid bacaannya keras-kerasan. Yang satu keras, yang satu keras. Maka Nabi keluar dari tempat iktikafnya kemudian mengatakan, “Kalian semua itu sedang bermunajah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, falayar fa’kubak untuk Kemala bakdin.” Kerana itu jangan saling keras-kerasan. Ibadah itu di sini keras, sini pakai yang lebih keras lagi akhirnya timbul kegaduhan, meresahkan orang lain.
Suatu hari ketika Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam mendatangi apa namanya, berangkat ibadah haji, sebahagian sahabat bertalbiah, bertakbir, berzikir dengan suara lantang, suara keras sehingga menimbulkan kegaduhan. Maka Rasulullah mengatakan, “Irba’u ala anfusikum fainakum la tada’una raiban wala asam walau akim nakum tada’una As-Sami’ al-Qarib.” Hendaknya kalian itu menahan diri, menyayangi diri kalian sendiri. Jangan teriak-teriak dalam ibadahnya kerana sejatinya Allah yang kau ibadahi tidaklah tuli, tidaklah jauh. Allah itu dekat dan Maha Mendengar. Makanya disebut munajah.
Ibadah itu bukan asal gayang, bukan asal ramai. Tidak, kita harus memikirkan efeknya. Kerana itu saya yakin, bapak ibu sekalian sepakat kalau sampai ada orang yang nekad solat sunah di perempatan jalan, solat kabliah zuhur biar tidak terlambat ke masjidnya, mepet 5 minit lagi iqamat, berdiri di perempatan jalan solat sunah, saya yakin semuanya marah. Saya yakin semua orang mengatakan ini orang tidak benar, solat kok di perempatan jalan sehingga menimbulkan kemacetan luar biasa. Ibadah yang meresahkan orang lain ini dalam Islam terlarang.
Kerananya dalam solat pun kita harus memikirkan efek dari ibadah kita. Jangan saya ibadah, kamu kan tidur, tidur kok tidak mahu terganggu? Tidak boleh. Kalau ada orang sedang istirahat misalnya kita di rumah, jangan baca Al-Quran keras-keras sampai mengganggu orang tidur, kerana tidur itu mubah. Melintas di jalan itu boleh, maka jangan menimbulkan gangguan bagi orang lain. Meresahkan orang lain dengan ibadah kita ini adalah satu hal yang terlarang dalam syariat.
Kerana itu tadi Nabi mengatakan, “Irba’u wala anfusikum, pelan-pelan. Kalau teriak-teriak seperti itu nanti ibadahnya cepat lelah, cepat bosan.” Kerana sejatinya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak ada bedanya kita teriak atau kita pelan-pelan. Allah itu Maha Mendengar.
Beda kalau manusia. Kalau tidak diteriaki dari jauh, tidak akan dengar. Allah itu karib, Allah itu dekat, sehingga kita bersuara lirih ataupun keras, Allah itu Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ini adalah alasan-alasan kapan suatu amalan disebut bid’ah.
Karena itu, isu wahabi menjadi isu yang panas di masyarakat. Wahabi sering kali membid’ahkan amalan. Mengapa ini menjadi isu panas? Karena masyarakat kita secara umum, bahkan yang sudah sering mengaji pun, sering kali belum memahami kapan suatu amalan dianggap bid’ah.
Namun, jika kita bisa menjelaskan dengan baik, pak, ibadah itu dikatakan ibadah yang benar kalau memenuhi enam atau bahkan tujuh kriteria yang telah disebutkan di atas: jenis ibadahnya, waktunya, tempatnya, kadarnya, tata caranya, dan hukumnya sesuai dengan yang dijelaskan oleh para ahli fiqih. Ada yang wajib, ya diyakini wajib. Yang sunnah diyakini sunnah, tidak boleh dibolak-balik. Ada syarat, ada rukun, itu juga harus diperhatikan sesuai dengan syarat rukunnya. Kemudian, tidak meresahkan orang lain. Kalau terpenuhi enam atau tujuh kriteria ini, maka itu adalah ibadah yang sunnah. Tapi, jika satu saja tidak terpenuhi, maka itu dikatakan bid’ah.
Walaupun solat ibadahnya solat, namun jika tidak tepat waktu, seperti solat Zuhur jam 8 pagi, saya yakin semua akan mengatakan itu solatnya tidak sah. Tempatnya, haji di Pekalongan, di alun-alun Pekalongan, saya yakin itu amalannya tidak sah. Tawaf di Masjid Jamik Pekalongan, tentu tidak sah. Kenapa? Tidak ada contohnya. Walau syarat rukunnya terpenuhi semua, tapi tempatnya salah, itu dikatakan bid’ah.
Jika kita bisa menjelaskan ke masyarakat dengan baik sebab-sebab kapan amalan ini dikatakan bid’ah, dan masyarakat memahami itu dengan baik pula, maka isu bid’ah itu tidak lagi menakutkan. Saya yakin siapa pun sepakat bahwa solat Subuh empat rakaat itu bid’ah. Namun di sisi lain, ada masalah-masalah yang kadang-kadang muncul. Kita malas untuk membuat contoh baru dalam bid’ah. Contohnya itu saja sudah pengajian 10 tahun. Kalau ditanya fitnah apa, ya itu saja.
Subhanallah, ajari fitnah itu sehingga masyarakat tahu kenapa fitnah. Nanti kalau bid’ah itu ke ustaz ayah, itu ustaz bis bidan, contoh bidannya itu, di mana pun itu. Subhanallah, sering kali kita dalam mencontohkan bid’ah ingin menohok. Pokoknya kamu salah, saya akan katakan salah, titik. Tidak disiapkan kondisinya dulu, dijelaskan pak, ibid A itu ibadah yang harus memenuhi enam syarat atau tujuh kriteria. Kalau sudah memahami, dia akan mengatakan, “Oh iya, itu berarti tidak benar juga karena tidak ada contohnya.”
Ibadah bukan hanya modal semangat, pak. Harus memenuhi kriteria-kriteria ibadah yang sering jadi masalah karena kita tidak siap menjelaskan atau bahkan tidak bisa menjelaskan langsung memberi contoh yang sudah menjadi tradisi masyarakat. Akibatnya, masyarakat hobi dibilang, “Kamu anak ingusan kelmarin sore, yang nyeboi kamu tu, saya yang ngelap umbelmu tu, saya lah kok sekarang kamu bilang bid’ah-bid’ah, yang ngajari kamu lahir itu Alif ba ta, tu saya loh kok sekarang kamu datang ke saya, pak kiai ini bid’ah anak kelmarin sore.”
Ini masalah. Ada lagi bilang, “Lee kata orang Jawa, mbah-mbah dulu itu ya seperti ini, solatnya seperti ini, ibadahnya seperti ini, puasanya seperti ini. Kalau sudah datang bulan Syaaban, bulan Rajab, bulan ini, bulan itu, ya seperti ini tradisinya. Tidak tunda itu bid’ah.” Langsung diklaim, Subhanallah, kenapa tidak dijelaskan dengan sistem itu dengan baik, pak? Ini urusan ibadah, harus memenuhi kriteria, bukan hanya modal semangat.
Kalau kita bisa menjelaskan dengan baik, dengan santun, insyaAllah masalah bid’ah tidak bid’ah itu masalah yang sepele. Apa lagi jika kita bisa menjelaskannya dengan bijak, tidak buru-buru, tidak tergesa-gesa ingin sampai pada kesimpulan. Kemudian yang kedua, tidak ada dalil, tidak ada keterangan dari para ulama yang mengatakan mengingkari kemungkaran itu harus dijelaskan bid’ahnya. Yang penting kemungkaran itu hilang. Itu namanya ingkar mungkar, walaupun tanpa dibilang fitnah. Bagaimana sampaikan ini? Tidak ada contohnya, pak. Yang ada contohnya ini, tidak usah dibilang fitnah juga tidak apa-apa. Yang penting sudah tidak dilakukan lagi.
Sering kali kita salah memahami bahwa kata bid’ah ini adalah merek yang harus dipertahankan. Jadi, kalau tidak menggunakan judul bid’ah, berarti tidak sah dakwahnya. Nah, ini yang jadi masalah lagi. Padahal kemungkaran apa pun bentuknya, baik itu syirik, bid’ah, ataupun maksiat, yang penting sudah tidak dilakukan, yang penting sudah tidak diyakini lagi, itu cukup. Makanya orang berzina itu dosa, sedangkan orang yang tidak berzina tidak dosa, walaupun tidak zinanya itu karena sedang tidur. Dibangunkan, “Mas, kamu tadi waktu tidur dalam rangka menghindari zina atau karena sekadar ngantuk?” “Sekadar ngantuk.” Wah, ndak sah itu. Harus diyakini, harus diniatkan, judulnya harus apa, dalam rangka menghindari zina. Tidak ada, pak.
Sama orang yang tadi, mungkin di amalan bid’ah di masyarakat yang ingin haji di alun-alun Pekalongan. Tidak harus dikatakan, “Pak, haji di alun-alun Pekalongan itu bid’ah.” Tidak harus. Cukup dikatakan, “Pak, haji di alun-alun Pekalongan tidak sah karena syaratnya haji harus di Arafah. Itu bukan Arafah, pak.” “Oh gitu, ndak sah ya?” “Ya sudah.” Walau tidak pakai judul bid’ah, judulnya apa? Judulnya tidak sah, itu sudah cukup. Karena itu termasuk ingkar mungkar. Ingkar mungkar itu orientasinya, penekanannya yang penting kemungkarannya tidak terjadi.
Kalau ada wanita cantik, pak, wanita cantik, ndak melihat wanita cantik itu bisa karena sadar, astaghfirullah, atau karena ditutup matanya. Pak tahu, ada orang cantik, anak muda tutup matanya. Ada apa? “Ndak apa-apa, biar ndak kena debu aja,” katanya. Maka saya tutup matanya. Lewat sudah, ndak tahu kalau ada wanita. Lewat sudah, ndak dosa, pak, walaupun niatnya tidak ada. Yang penting anak muda ini tidak melihat yang haram. Cukup. Kenapa? Ditutupi matanya. Apa bilang, “Tu, tu, tu, ada kecapung.” Misalnya, noleh ke kiri, akhirnya yang cantik tadi lewat, tidak kelihatan. Orang capung, biasa aja, ribut. Ya ndak apa-apa, saya mahu kamu melihat capung, padahal alasannya apa? Biar noleh ke kiri agar tidak melihat yang cantik.
Ini pernah dilakukan Nabi ketika Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam memboncengkan al-Fadhil bin Abbas, saudara sepupu beliau, di musim haji. Musim haji ini masalah besar, pak, bagi pemuda. Kenapa? Semua jenis wanita ada, dari yang tinggi, pendek, tua, muda, hitam, putih, pesek, mancung, ada semua. Fadhil bin Abbas, anak muda, darah muda, di Mina, beliau dibonceng nabi Sallallahu Alaihi Wasallam naik unta. Sedang nabi naik unta, datanglah segerombolan wanita dari khatam, dari kobila khatam, ada wanita cantik luar biasa. Namun perlu diketahui, ihramnya wanita adalah dengan membuka wajah. Wanita tidak boleh menutup wajahnya ketika sedang ber-ihram. Darah muda Fadhil melihat wanita cantik, noleh, pak. Makanya nabi mukanya dipalingkan, dipalingkan, walaupun Fadhil tadi berpaling bukan dalam rangka meninggalkan yang haram. Tapi kenapa? Karena didorong wajahnya oleh nabi. Kalau tidak didorong, dia akan melihat, pak. Tapi itu sudah cukup, yang penting dosanya tidak terjadi.
Salahnya kita sering kali ketika menjelaskan ke masyarakat harus menggunakan judul. Padahal judul dalam ingkar mungkar tidak penting. Yang penting kemungkarannya tidak terjadi. Walau tidak menggunakan kata-kata bid’ah, cukup dengan kata-kata tidak sah, tidak afdal, tidak sesuai sunnah nabi, tidak diajarkan nabi, itu cukup. Yang penting kemungkarannya tidak terjadi.
Jadi pertama, jelaskanlah kenapa amalan itu bid’ah. Kemudian kedua, kata bid’ah itu tidak harus diucapkan. Yang penting kemungkarannya tidak dilakukan, fitnah itu tidak dilakukan di masyarakat. Kemudian ketiga, dan ini yang sering kali menjadi awal masalah para dai, baik yang berstatus sebagai ustaz ataupun masyarakat biasa
yang punya hijrah, punya semangat ingin mengajarkan Islam, mengajarkan sunnah, mengingkari kemungkaran, walaupun tidak berstatus sebagai ustaz, walaupun tidak berstatus sebagai juru ceramah, sering kali kemantapan itu menjadi motivasi bukan lillahi Azzawajal.
Kemarin saya kalau tidak saya marahi sampai habis, saya ndak mantap. Saya tadi sebelum Maghrib dibilang, “Ustaz, ceramahnya tidak menggigit.” Dalam hati saya, alhamdulillah, saya bukan harimau. Kalau ceramah saya yang gigit, berdarah-darah. Antum, ini adalah bentuk fitnah baru belajar ilmu standarnya, bukan dalil dalam Al-Quran atau sunah. Standarnya apa? Maram. Rasakno kawan saigi kata orang kelmarin, dibilang jenggotan kayak bandot, sekarang dibilang bid’ah-bid’ah sama ustaz saya. Nah, inilah bentuk bid’ah dakwah. Standarnya mahram. Dakwah itu standarnya apa? Dalil, Al-Quran, atau sunah. Bukan menggigit. Salah besar kalau antum cari ilmu standarnya apa?
Ha, ni ustaz ini maram. Standar kok maram? Ada lagi, ini ustaz yang gigit kalau ceramah, harimau. Kalau mau cari ustaz yang gigit, jangan cari ustaz manusia, kecuali Sumanto, gigit ya, tapi yang lainnya ndak boleh. Standarnya itu gigit, standarnya itu mahram. Mantap, ndak boleh. Perasaan harus dipisahkan dari kebenaran. Standar kebenaran itu Al-Quran dan sunah. Antum haram tidak haram, itu urusan antum. Tapi benar atau tidak benar, sunah atau fitnah, standarnya apa? Al-Quran atau sunah. Wama atau kumur rasul fahhuruh pemanah aku manhu. Apa pun yang diajarkan nabi, lakukan. Yang dilarang, tinggalkan. Walau mahram, walau mahram, tinggalkan.
Seperti tadi, yang solat sunah atau solat subuh 10 rakaat, lebih mahram dibanding yang solat subuhnya cuma dua rakaat. Tinggalkan. Jangan dilakukan. Walau mahram, mantap, lebih menggigit kalau ceramah, bid’ah-bid’ah, bid’ah, murtadik, kafir, mau syirik-syirik semua, gigit kaya harimau, tinggalkan. Nabi itu mengajarkan dakwah dengan apa? Ud’u ila sabili rabbika bil hikmati wal mau’idhatil hasanah, menyampaikan mau’idhah peringatan itu dengan yang baik.
Kalau mahu berdebat, berdiskusilah dengan wajah yang dilhum, bin latihiya hassan, diskusi yang adem, yang santun, dan yang sopan. Bukan debat kusir, bukan asal berani teriak.
Suatu hari datang seorang sahabat, yang pada awalnya pola fikirnya maram. Kalau ndak maram, ndak sah. Sahabat tersebut adalah seorang peternak. Dia punya kambing yang banyak sekali. Dia bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang boleh saya jadikan wang korban? Kambing seperti apakah yang boleh saya jadikan sebagai korban?”
Maka nabi menjelaskan, “Ada empat cacat yang tidak boleh ada pada haiwan korban. Yang pertama, yang matanya juling, pak. Melihat ke kanan dan ke kiri sama ja bareng-bareng, atau bahkan yang satunya picek, tidak bisa melihat. Cacat matanya satunya hanya melihat satu, ini tidak sah untuk dijadikan haiwan korban. Kemudian, yang pincang jalannya, kakinya pincang, tidak sah. Kelihatan jelas nyata. Tapi pincang sedikit ndak apa-apa. Yang terlarang itu betul-betul pincang sehingga tidak bisa jalan bareng kambing yang lain. Kemudian, yang sedang sakit. Jelas-jelas kelihatan haiwan sedang sakit. Yang keempat adalah yang kurus kering kerontang, ndak ada dagingnya. Tapi kalau kurang gemuk, sah.”
Pernah sahabat tersebut bertanya lagi, “Ya Rasulullah, aku tidak suka kalau haiwan korbanku giginya kurang, giginya sudah tanggal atau tanduknya patah. Mahunya korban itu haiwan yang betul-betul garang, tanduknya besar, giginya masih utuh. Kenapa giginya utuh? Karena kalau giginya sudah copot, pak, itu sudah tua. Kata orang Jawa, sudah tua, dagingnya alot, baunya apek luar biasa, kurang baik dagingnya. Jangan yang tua. Aku ndak suka kalau kambingnya sudah tua, harus dimasak berjam-jam baru empuk, kalau dimakan bau. Aku ndak suka kalau tanduknya itu pendek, kecil, kata orang. Kenapa? Biasanya kambing yang tanduknya kecil itu kalahan kalau serudukan. Jadi maunya kambing yang dilihatnya yang wah, mantap.”
Apa jawapan nabi? “Yang kau tidak suka, ya silakan jangan kau korbankan. Tapi jangan pernah diharamkan. Jangan pernah berkata yang tanduknya pendek haram untuk jadi korban. Jangan. Urusan selera, mantap, itu urusan peribadi. Aku ndak mantap kalau sedekah cuma seratus ribu. Terus berapa? Satu miliar. Sedekah seratus ribu kurang banyak, ya silakan. Tapi jangan pernah berkata yang sedekah seratus ribu ndak sah. Aku kalau kambingnya itu tanduknya panjang baru, ha, ini korban yang mantap. Itu dagingnya banyak, gemuk badannya. Ditimbang kambingnya pokoknya tiga ratus kilo, mantap. Silakan, itu pilihan. Tapi jangan pernah diharamkan atas orang lain. Kalau tidak seperti itu, haram.”
Hadis ini menjadi pelajaran bagi kita. Dalam urusan agama, perasaan itu harus disingkirkan terlebih dahulu. Standar benar atau tidak benar, sah atau tidak sah, sunah atau tidak sunah, standarnya adalah kalaulah makalah Rasulullah. Kalau itu ada dalilnya, ya sunah. Walau saya tidak maram, maram itu urusan hati anda. Kalau pun itu ada dalilnya, kalau kita mengatakan tidak maram atau mengatakan maram, ndak nambah, tidak merubah hukum. Hukum itu dalilnya Al-Quran dan sunah. Perasaan itu kondisional, pak. Kalau lagi punya wang banyak, maram, ya. Tapi kalau lagi ndak punya wang, seratus ribu ya Allah banyaknya. Ndak percaya? Silakan malam ini ditarik seratus ribu oleh panitia. InsyaAllah maram semuanya, seratus ribu banyak sekali. Bagi yang ndak punya wang, yang punya wang kok cuma seratus ribu, kena bayar satu juta-an.
Ini urusan perasaan. Jadi harus dibedakan kebenaran. Tidak boleh dicampur adukkan dengan perasaan. Dakwah adalah bagian dari kebenaran yang harus kita sebarkan. Ketika berdakwah, jauhkan urusan perasaan. Saya lebih mantap, biar lebih mantap. Rasalah, kemarin bilang-bilang cingkrang, cingkrang, sekarang wah tak fitnah-fitnahkan. Ndak boleh, urusan dakwah itu standarnya maslahat, standarnya hikmah, standarnya adalah sunnah nabi.
Suatu hari ketika datang seorang Yahudi mengucapkan salam kepada nabi, “Assalamualaikum ya Muhammad.” Semoga engkau celaka Muhammad. Dipelesetkan ucapan salam. Harusnya “Assalamualaikum,” dibilangnya “Assalamualaikum,” mirip, tapi artinya sangat jauh. Assalamualaikum artinya semoga engkau binasa. Kalau tidak jeli, aku maka, oh, bererti orang ini baik mengucapkan salam. Nabi hanya menjawab, “Waalaikummusalam.” Aisyah yang mendengar ucapan Yahudi ini ingin maram. Pembalasan lebih kejam dibanding perbuatan ini. Sekata balasnya dua kata. Itu mahunya Aisyah, maram. Wanita ini kurang ajar, maka dia bilang, “Balisa mu ali kaw lakna ya abna al kirodahkannya, bahkan yang binasa itu semoga kalian, dan semoga kalian terlaknati wahai anak keturunannya kera.” Karena dulu Yahudi itu pernah dirubah wujudnya menjadi kera dan babi. Nenek moyang mereka. Aisyah ingin maram, balas itu yang ndak tanggung-tanggung. Balas kok cuma sama, kurang mantap. Penakut sekali, sekalian, kata orang Jawa Timur. Get no katanya, biar mantap. Balas itu yang maram, gitu loh.
Apa kata nabi? Nabi mengatakan, “Rifqan ya Aisyah, Aisyah, lemah lembut.” Aisyah hairan, loh kok malah isterinya yang ditegur. Isterinya bela suami kok malah disalahkan. Maka Aisyah mengatakan, “Ya Rasulullah amal samiq tamakan? Ya Rasulullah, apa engkau tidak mendengar? Tidak perhatian apa yang diucapkan Yahudi itu?” Nabi mengatakan dengan tenangnya, “Bala aku mendengar.” Kemudian nabi mengatakan lagi, “Awang masamik timakul, dan apa engkau juga tidak mendengar apa jawapanku? Aku kan sudah bilang sama-sama.” Kemudian nabi menjelaskan, “Mustajab bulan awalnya ustazah bu lahum. Kalau urusan doa yang dikabulkan itu pasti doanya orang Islam, doanya kita. Doanya Yahudi ndak akan dikabulkan. Jadi, walaupun bilangnya waalaikumussalam saja, sama-sama itu kita sudah menang satu poin. Doa kita akan dikabulkan, sedangkan doa mereka tidak.” Loh kok masih kurang maram? Kemudian nabi mengatakan, “In arif khat layakku nufi syein illa zanahu. Wahai Aisyah, sehingga lembut itu tidak engkau lakukan dalam satu urusan kecuali urusan itu akan menjadi indah. Jadi, tolong bedakan kalau memang tidak siap dakwah, siap. Tolong diam itu lebih baik dibanding emosional, ingin maram.”
Dakwah itu tidak urusan maram. Karena kalau sudah urusannya maram, maram itu dalam bahasa Arabnya adalah syahwat. Dan itulah yang Allah tegaskan, ia tabiuna ilazon nawa matahwal an hus. Allah mencela orang-orang musyrikin Quraisy, orang-orang kufar yang kufur kepada Allah. Allah jelaskan, yang mereka ikuti itu apa? Azan kebodohan mereka sendiri, praduga kira-kira, dan apa? Tahwal anfus, hawa nafsunya. Dai kok mengikuti hawa nafsu, ndak usah dakwah kalau begitu. Mau ingkar mungkar kok yang standarnya apa? Hawa nafsunya. Ingkar mungkar itu harus berdasarkan ilmu, berdasarkan hikmah, berdasarkan basirah seperti yang Allah tegaskan, “Kul hadihisabili aduh ilallah alah basiratin anawa manik taba ani.” Katakan Muhammad ajarkan kepada umatku, inilah jalanku, inilah ajaranku. Aku berdakwah kepada Allah, kepada jalan Allah, Allah bashirah. Dasarnya apa? Bashirah. Dasarnya itu adalah ilmu. Demikian juga para pengikut-pengikut dakwahnya juga berdasarkan apa? Ilmu, bukan berdasarkan menggigit. Kalau menggigit, jangan hidup sama manusia. Jangan hidup sama orang Islam. Hidupnya di mana? Di hutan. Itu bisa dakwah sampai menggigit. Kalau ndak bisa menggigit, akan digigit sama harimau. Kalau dakwah itu standarnya, pak, basirah, ilmu. Walau antum mantap, tidak mantap, malam, tidak maram, tidak peduli, inilah ilmu.
Isu wahabi menjadi isu panas. Banyak sebabnya. Pertama, masyarakat belum tahu apa itu wahabi. Ikut-ikutan menuduh, yang dituduh emosi, kurang ajar. Sunnah dibilang wahabi, wahabi dibilang sesat. Padahal wahabi itu memang aliran sesat. Tidak pernah ada masa ayah kita, ulama kita, yang mengatakan kita itu wahabi. Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab tidak pernah mengajak umatnya, mengajak muridnya, siapa pun, tidak pernah diajak. Kita itu wahabi. Beliau mengajarkan apa? Sunnah nabi. Lalu dari mana muncul isu wahabi? Isu wahabi itu adalah yang pertama kali mengangkatnya adalah orientalis yang ingin menghalang-halangi dakwahnya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab yang punya misi memurnikan ajaran Islam. Kenapa menggunakan wahabi? Karena faktor kebetulan bapaknya namanya Abdul Wahab. Di sisi lain ada satu sekte, ada satu aliran yang berkembang di daerah Afrika pada awal sejarah Islam, sekitar abad kedua hijriah. Ada sekte khuwarij yang hobinya mengkafirkan orang yang tidak berbaikat, orang yang tidak sekelompok. Ndak seronok dengan mereka.
Sekumpulan sekte itu dikenal dengan sekte Wahabi kerana sekte itu didirikan oleh Abdul Wahab bin Abdul Rahman bin Rostum. Maka, pengikutnya disebut Wahabina. Sayangnya, kerana kebodohan emosional, banyak orang mengakui, “Ya, saya Wahabi kok.” Cerdas sekali, isu Wahabi itu yang mengangkatnya adalah orientalis. Tujuannya adalah menghalangi dakwah. Lah, di Indonesia malah diakui, “Ya, kami Wahabi.” Nah, inilah kerana dakwah tidak didasari oleh ilmu, didasari emosional, dan bererti rasa mantap, rasa menggigit. Ya, tapi yang dimaksud Wahabi kan saya. Nah, inilah cerdasnya kita. Orientalis itu sengaja membuat merk untuk kita, merk yang buruk.
Orientalis, apa maksudnya? Ya, itulah yang ingin Islam murni, itulah yang dituduh Wahabi, agar nanti masyarakat, “Ha, mereka Wahabi kan?” Nah, Wahabi itu dalam sejarah adalah sekte sesat. Cocok sudah. Jangan diikuti dakwahnya, itu mahunya. Namun, kerana emosional yang ada di sebahagian pemuda, tidak memahami, masyarakat juga termakan isu oleh orientalis yang berkembang di media Barat sejak abad ke-11 hijriah. Isu itu sudah diangkat oleh orientalis Jerman. Isu Wahabi padahal kalau kita baca bukunya para ulama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab murid-muridnya sampai sekarang tidak ada yang mengajarkan, tidak ada yang dengan bangga mengatakan, “Kami itu Wahabi.” Kecuali di Indonesia.
Hanya di Indonesia inilah ada orang yang bangga mengatakan dirinya Wahabi, menggunakan bajunya orang orientalis. Orang yang tulis buat baju ini ni saya kasi baju yang buruk, baunya busuk, kotor, jelek. Silakan dipakai. Di Indonesia, malah dipakai dengan bangga, “Ya, kami Wahabi.” Ada apa? Subhanallah. Ini emosional. Alangkah bijaknya kalau kita katakan, “Kami bukan Wahabi, tapi Muhammadi, pengikutnya Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam.” Tidak pernah saya mengajarkan Wahabi. Ndak pernah saya diajar oleh guru saya bahawasanya kami itu Wahabi.
Jelaskan siapa Wahabi sebenarnya? Siapa yang melontarkan isu Wahabi sebenarnya? Apa tujuannya? Kita akan tahu. Namun sayang, ketika yang berbicara itu tadi perasaan yang berbicara, emosional yang berbicara, adalah zon kebodohan, bukan ilmu. Maka isu Wahabi tu menjadi isu yang panas. Sehingga di mana pun kalau sudah Wahabi itu telinga panas. Padahal seharusnya kita tu telinga dingin seperti dinginnya, “Awas pencuri.” Ndak ada yang telinganya merah di sini. Tapi kenapa kalau dibilang, “Awas Wahabi,” kenapa telinganya menjadi merah? Seharusnya kita mendengar kata Wahabi itu seperti kita mendengar, “Awas pencuri, awas copet.” Kalau ndak nyopet, kenapa mesti tersinggung? Kalau tidak sesat seperti Wahabi yang hobinya mengkafirkan, kenapa mesti marah? Kenapa ya yang dimaksud saya?
Inilah namanya kita berbicara dengan emosi. Harus kita ajarkan ketika ada orang teriak, “Awas Wahabi sesat!” Kita juga ikut teriak, “Benar, Wahabi itu sesat. Jangan diikuti kerana Wahabi itu demikian, demikian sejarahnya, hobi mengkafirkan, memang sekte khawari yang tidak dalam kelompoknya dikatakan kafir.” Maka orang akan bilang, “Loh, dibilang Wahabi kok malah teriak Wahabi juga, bererti bukan Wahabi dong.” Ya, bukan Wahabi tapi Muhammadi, pengikutnya Nabi Muhammad. Sehingga nanti ketika di belakang, “Masakan saya bilang Wahabi, Wahabi sesat,” dia malah bilang, “Benar, pak. Ayuh kalau ada Wahabi pekawan kita usir aja. Wahabi sesat.” Dia akan bilang ke teman-temannya, “Dia bukan Wahabi.” Oh, malah ngajak mengusir Wahabi kok.
Tapi kalau kita marah, “Kurang ajar Wahabi, Wahabi.” Oh, itu kan kata orang, “Ayam bertelur itu pasti berkokok.” Ini kalau ndak Wahabi kok marah, kenapa? Kalau ndak mencuri, kenapa mesti marah? Ya, bererti pencuri orang ini. Itu strategi yang ingin diterapkan oleh orang orientalis, buhat ketika dia pertama kali melontarkan isu Wahabi. Makanya sampai saat ini para ulama itu menulis, menjelaskan, mengklarifikasi siapa sih sebenarnya Wahabi itu. Bukan malah, “Ya, saya Wahabi. Kenapa memang?” Ini cerdas kau. Ada copet, “Copet awas tangkap!” “Ya, saya copet terus kenapa?” Ya ditangkap kalau sudah tahu copet, ngaku malah dicopet. Ini Wahabi, tahu sekte sesat, malah bilang, “Ya, saya Wahabi.” Ya, bererti anda mengakui sebagai orang sesat.
Inilah bedanya ketika kita itu bersikap bijak. Kita telusuri siapa si Wahabi. Jangan hanya kebodohan kita ndak tahu siapa Wahabi, kita langsung membela atau kita langsung memusuhi. Inilah sikap yang menjadikan masyarakat menjadi pro dan kontra terhadap isu Wahabi. Terus dakwah ini terbebani dengan isu Wahabi. Sehingga misi orientalis, buhat ketika memunculkan isu Wahabi ini, betul-betul tercapai. Dia berhasil dengan isu ini. Seperti yang sekarang orang-orang yang tidak suka dengan Islam menghembuskan isu, “Islam itu aa keras, Islam itu kumuh.” Ya memang kumuh kok. Kenapa? Apa anda mahu memang saya kumuh? Subhanallah. Seharusnya tidak seperti itu. Dipijak, ya. Walau saya kumuh, tapi Islam tidak mengajarkan ini. Kerana bajunya cuma ini, mas. Bajunya sama ini.
Jadi jangan dikesankan, “Ya, memang Islam kumuh.” Ini salah. Ini salah besar. Dosa kita terhadap Islam sehingga mengakibatkan apa? Masyarakat fobi, benci terhadap Islam gara-gara kita. Kerananya, fatuliman, aa bersikaplah bijak. Jangan emosional, tinggalkan perasaan dalam urusan ilmu, dalam urusan dakwah, dalam urusan agama. Agama ini bukan untuk dirasa-rasa. Masyarakat sering bilang, “Rasa-rasa ni bagus ini.” Ustazah, jangan didengar kerana rasa-rasanya itu bakso gudang itu ada rasanya, pak. Tapi kalau urusan dakwah, ilmu, aa ini ada atau tidak? Hadisnya ada, ayatnya ada, hadisnya benar atau tidak? Kalau ndak benar, ndak usah dirasa-rasa, salah.
Kalau urusan ilmu, pakai rasa-rasa eh urusan masakan, ya boleh rasanya. “Rasanya enak ni pak, mantap gulainya, gurih satenya, wah enak sekali.” Itu rasanya kita pakai. Tapi kalau urusan makan ndak pakai rasa. Urusan rumah tangga, isteri nangis, ndak pakai perasaan. Anak ndak dinafkahi, ndak pakai perasaan. Ha, ini yang salah. Perasaan dipakai dalam hal sosial semacam ini. Tapi urusan agama, halal haram, benar atau salah, jauhkan rasa-rasa. Tapi apa dalilnya? Inilah. Sehingga isu Wahabi tidak lagi menjadi beban dakwah. Tidak menjadi masalah mahu orang teriak, “Wahabi, Wahabi,” silakan. Saya bukan Wahabi. Kenapa mesti sewot?
Saya akan akhiri kajian ini dengan satu kisah. Di kampus kita di Stadium Imam Syafie Jember, mahasiswa kita banyak yang berkeluarga. Sehingga walaupun statusnya sebagai mahasiswa tinggal di luar kampus, di luar asrama, kontrak di perumahan. Namun, di Jember ada sekelompok ustaz, juga penampilannya sama, jenggotan, cingkrangan, kerjaannya juga sama, gamisan, baju Pakistan sama penampilannya. Bedanya peci hitam, ndak pakai peci. Nah, di saat malam perayaan aa Israk Mikraj, ada sebahagian dari teman-teman yang tadi itu membuat warning kepada teman-temannya, “Awas nanti malam ada peringatan Israk Mikraj, jangan solat di masjid ini, solat di masjid lain, kerana di masjid ini ada peringatan Israk Mikraj.” Terdengar oleh takmirnya, maka marahlah takmir sehingga keluarlah edaran ditulis di kajat, “Masjid salafi tidak boleh solat di masjid ini selama-lamanya.” Maka mahasiswa kita resah. Datang ke saya. Saya tanya, “Kenapa kisahnya demikian, ustaz salafi ndak boleh?” Alhamdulillah sujud syukur sekarang juga.
Kenapa? Antum kuliahnya di Imam Syafie, bukan di pondok maahad salafi. Antum kuliahan di mana? Di Imam Syafie. Jadi kalau nanti dibilang sama pak Mir, “Kok masih solat di sini?” Ya pak, kami kuliahnya di Imam Syafie, bukan di pondok As-Salafi. Kerana di sana memang ada pondok namanya salafi. Jadi gampang, sampaikan kepada mereka, “Kami sekolahnya di Imam Syafie.” Jadi kalau bapak tidak ingin kami solat sini, tolong ditulis yang Imam Syafie tidak boleh. Ndak akan berani pak, kerana Imam Syafie kan imamnya Wong Jember. Kalau sampai ditulis nanti masalah. Maka selesai masalah di situ. Tidak ada anarkis, mahasiswa kita tidak diintimidasi, tidak dimasalahkan. Kenapa? Itu nama, itu nama, tapi identitas kita bukan di namanya, tapi apa di ideologinya, akidahnya, ilmunya yang kita pentingkan.
Ini sebagai pelajaran bagi kita, bahawa kita harus tahu kapan nama itu kita pakai, kapan tidak harus kita pakai. Kapan kita harus mementingkan isi, kapan kita harus mementingkan kulit, kapan bahkan kita harus menggunakan kulit dan isi. Jangan harus diperandukkan, kita harus bisa bijak. Inilah yang disebut dengan hikmah. Dan selanjutnya sepenuhnya saya serahkan kepada antum. Mahu dibilang perasaan maram, tidak maram, sepenuhnya silakan. Dibilang menggigit, tidak menggigit, kerana saya memang tidak pernah ingin gigit, bukan harimau. Mahu dibilang tajam, tidak tajam juga tidak masalah kerana saya bukan pisau.
Jadi, inilah ilmu yang saya fahami tentang fitnah. Inilah ilmu yang saya fahami tentang Wahabi atau tidak Wahabi. Ini yang bisa sampaikan. Saya yakin ini sudah jelas, dan kerana sudah jelas, insyaAllah pertanyaan sudah saya cukupkan sampai di sini. Habis isyak, insyaAllah kita akan kembali ke rumah masing-masing agar bisa merasakan masakan isteri masing-masing. Ini aa, wallahu Ta’ala alam. Kita akhiri dengan kafarah tol majlis, subhanallahu Alaihi hamdika, shadowal lailahaillallah anta, staf Abdul Abdul Julai, assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kami Memohon 1000 Kemaafan!!!
Buat masa ini, Penulisan ini hanya boleh diakses oleh Penyumbang Infaq (VIP user) sahaja kerana buat masa ini kami memerlukan sumbangan dari pengguna untuk pengurusan dan penyelenggaraan Organisasi Penuntut Ilmu.
Jadi buat masa ini, pengguna dari kalangan ‘Guest’ dan ‘Subscriber’ hanya boleh membaca penulisan pada ‘Soal Jawab’ sahaja.
In Sya Allah sekiranya telah cukup sumbangan bulanan yang diperlukan, kami akan memberi akses percuma kepada semua pengguna.
Tekan Button Di Bawah Untuk Menjadi Salah Seorang dari Penyumbang Kami
Semoga ianya menjadi saham pahala yang sentiasa mengalir sehingga akhirat. Amin!
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!
10 Pembaca Terbanyak