Oh, kau nampaknya memancing-mancing ambo kok. Ambo kenapa nak ditulis Haji? Ustad Abdul Somad tulislah godang-godang, ha. Syahadat, salat, zakat, puasa, Haji. Yang ditulis apa? Haji.

Ada uang salat, ada ditulis Salat Abdul Somad? Puasa, ada tulis Puasa Abdul Somad? Haji, kenapa? Karena Haji biayanya mahal. Punya duit banyak belum tentu berangkat. Saya tak tahu di Indragiri Hulu, kalau Pekanbaru store ona 2017 berangkat 2031. Malaikat maut datang 2030. Duit ada, badan sehat, waktu tak ada. Badan sehat, waktu ada, duit tak ada.

Saking besarnya hati, maka ditulisnyalah Haji di situ. Menulis Haji bukan cuman tradisi orang Indonesia. Di Mesir pakai Haji, di Maroko pakai Haji. Bahkan di Mesir itu bukan cuma yang Haji, asal tua panggil Haji. Haji, Haji, Haji, Haji, Haji. Asal tua, penghormatan. Yang sudah Haji memang Haji, yang belum Haji mudah-mudahan menjadi doa.

Tapi, menjadi angkuh dan sombong gara-gara Haji, maka sesungguhnya dia belum mendapatkan hakikat Haji. Karena hakikat Haji adalah meninggalkan angkuh dan sombong. Karena orang Haji sudah pakai pakaian orang mati. Orang Haji sudah merasakan miniatur Padang Mahsyar di Padang Arafah. Sehelai di bawah, sehelai di atas bagi laki-laki, pakaiannya pakaian kematian.

Orang yang Haji sudah melontar jumroh ula, jumroh ustad, jumroh aqabah, melontar setan. Orang yang sudah Haji sudah melunturkan semua keangkuhan, kesombongan. Atribut semua baju dilepaskan: jas lepas, dasi lepas, baju kebesaran lepas, baju kehormatan, baju PNS, baju polisi, baju tentara, baju pejabat lepas. Maka, kalau ada Haji balik sombong dan angkuh, dulu sebelum Haji mau diundang datang ke rumah, sekarang kalau tidak ditulis hanya tiga biji tak mau datang. Ini Haji mardut, bukan Haji mabrur.

Haji mabrur adalah Haji yang ada perubahan. Dulu sebelum berangkat Haji pelit, setelah berangkat Haji masya Allah. Asal lewat kota infak berapa? 2,500.