Sekiranya ada kesilapan pada transkrip, anda boleh rujuk video ini untuk semakan.
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!
Segera download Quran Tadabbur Tafsir dalam genggaman anda! Bulan Ramadan adalah bulan Al-Qur’an.
بسم الله الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
واشهد ان محمدا عبده ورسوله داع الى رضوانه. اللهم صل عليه وعلى آله واصحابه واخوانه.
Para jamaah sekalian,
Para jamaah Masjid As-Sunnah Bintaro yang dirahmati oleh Allah subhanahu wa ta’ala, kita akan melanjutkan bahasan kita. Kita masih membahas tentang kitabut taharah dan kini kita akan masuk pada pembahasan mengenai mandi, hukum-hukum yang terkait dengannya, serta berbagai jenis mandi.
Di antara tujuan dari thoharoh adalah mandi. Kita telah membicarakan tentang wudhu, dan nanti kita juga akan membahas tayamum. Mandi telah disebutkan dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Dalam Al-Qur’an, Allah mengisyaratkan:
إن الله يحب التوابين ويحب المتطهرين (Surah Al-Baqarah: 222)
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang suka bertaubat dan mencintai orang-orang yang suka bersuci.”
Di antara bentuk bersuci adalah mandi. Selain itu, dalam sunnah, terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Wajib bagi seorang Muslim untuk mandi setiap tujuh hari, sekali mandi ia membersihkan kepalanya dan seluruh jasadnya.”
Terdapat banyak hadis yang menjelaskan terkait masalah mandi. Oleh karena itu, para ulama telah berijmak bahwa mandi itu sangat dianjurkan dan memiliki banyak hikmah.
Seorang yang mandi dengan niat kerana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendapatkan pahala. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“طَهُورٌ شَطْرُ الْإِيمَانِ”
(“Bersuci itu adalah setengah dari keimanan”).
Hadis ini mencakup wudhu dan mandi. Apabila seseorang mandi dengan niat kerana Allah, dia bersuci kerana Allah mencintai orang-orang yang suka bersuci dan akan mendapatkan pahala.
Bahkan, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menekankan bahawa “طَهُورٌ شَطْرُ الْإِيمَانِ” menunjukkan bahwa bersuci adalah setengah daripada keimanan. Dengan mandi, seseorang akan mendapatkan kebersihan, dan kebersihan merupakan bagian dari keindahan. Sesuatu yang bersih itu indah.
Dalam sebuah hadis, Aisyah radhiyallahu anha menceritakan bahawa dahulu orang-orang bekerja sendiri tanpa bantuan, sehingga mereka perlu bekerja keras. Kerja keras ini menyebabkan mereka berpeluh dan mengeluarkan aroma yang tidak sedap dari tubuh mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“إِنْ كَانَ مَشْيَكُم إِلَى الْمَسْجِدِ، فَاغْتَسِلُوا فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ”
(“Jika kalian boleh, mandilah pada hari Jumaat”).
Dengan mandi, ia akan mendatangkan kebersihan, dan kebersihan melambangkan keindahan. Allah menyukai perkara-perkara yang bersih dan indah.
Mandi memiliki banyak hikmah, di antaranya adalah menimbulkan kesegaran dan semangat dalam beraktivitas. Pada kesempatan ini, kita akan membahas serba-serbi terkait mandi.
Secara bahasa, mandi dapat disebut dengan “الاغتسال” (al-ghuslu) dengan fathah, atau “الغسل” (al-guslu) dengan sukun. Makna dari “الاغتسال” (al-ghuslu) atau “الغسل” (al-guslu) adalah “إسالة الماء” (isalatu al-ma’i), yang berarti mengalirkan air pada sesuatu.
Secara syari, mandi juga memiliki makna yang mirip, dikenal dengan istilah “سَيلَان” (sayalan) atau “جَرَيَان” (jaroan), yaitu mengalirnya air pada tubuh dengan niat tertentu, yaitu niat untuk mandi. Perhatikan bahwa “جَرَيَان” (jaroan) atau “سَيلَان” (sayalan) berarti air mengalir pada tubuh kita. Air bisa mengenai tubuh kita tanpa harus kita yang mengalirkannya.
Contohnya, jika seseorang berada di bawah hujan dan terkena air hujan dengan niat mandi, maka itu sah. Tidak perlu kita yang mengguyurkan air, karena yang terpenting adalah air tersebut mengalir pada tubuh kita. Misalnya, seseorang juga bisa masuk ke dalam air yang mengalir, seperti di sungai atau kolam, dan itu juga sah.
Renang, misalnya, adalah ketika air mengalir di tubuh seseorang. Yang penting adalah adanya aliran air ke seluruh tubuh. Dalam konteks ini, hal ini disebut dengan **al-ghuslu** (المَغْسَلُ), yaitu mandi yang membasahi seluruh tubuh dengan air. Mandi ini dilakukan dengan niat, sebagai bentuk ibadah, untuk membedakan antara mandi ibadah dan mandi keseharian. Mandian keseharian tidak memerlukan niat, tetapi untuk mandi ibadah, niat sangat penting karena dilaksanakan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagian ulama menyebutkan perbezaan antara **al-ghuslu** (الْغُسْلُ) dan **al-ghoslu** (الْغَسْلُ). Sebenarnya, keduanya memiliki asal yang sama, namun para fuqaha (ahli fiqih) biasanya menggunakan istilah **al-ghuslu** untuk mandi, yang bermaksud membasahi seluruh tubuh. Sedangkan **al-ghoslu** digunakan untuk membasuh sebagian tubuh, seperti dalam wudhu. Dalam hal ini, **al-ghoslu** lebih merujuk kepada tindakan mencuci bagian tertentu, seperti mencuci tangan atau kaki, namun istilah ini juga memiliki penggunaan bagi mandi.
Secara bahasa, **al-ghuslu** dan **al-ghoslu** adalah sama, tetapi dalam istilah fuqaha, **al-ghuslu** digunakan untuk mandi (membasahi seluruh tubuh) dan **al-ghoslu** digunakan untuk membasuh bagian-bagian tertentu. Ini menunjukkan bahawa mandi perlu dilakukan dengan mengalirkan air ke seluruh tubuh. Pembahasan berikutnya akan membahas sebab-sebab wajibnya mandi.
Beberapa sebab yang disebutkan oleh para ulama Syafi’iyyah adalah sebagai berikut: Pertama, keadaan junub (الْجُنُب) menyebabkan seseorang wajib mandi. Junub adalah sebutan untuk orang yang mengalami janabah (الجَنَابَة). Janabah ini terdapat dua penyebab. Pertama, adalah al-ilāj (الإِلَاج) atau jima’ (الجِمَاع). Kedua, adalah khurūj al-mani (خُرُوجُ المَانِي). Kedua-duanya menyebabkan seseorang wajib untuk mandi junub.
Mengenai al-ilāj, jima’ secara syariat diartikan sebagai masuknya kepala zakar (الْحَشَفَة) dari kemaluan lelaki ke dalam farji wanita. Dalam hal ini, perlu diperhatikan bahawa seluruh kepala zakar harus masuk ke dalam farji. Kepala zakar, dalam bahasa Arab, disebut dengan al-hasyafah, iaitu bagian yang tidak tertutup oleh kulit yang dipotong semasa sunat. Jadi, jima’ hanya dianggap sah apabila seluruh kepala zakar masuk ke dalam farji.
Jika hanya sebagian, seperti sepertiga atau seperempat kepala zakar yang masuk, maka itu belum dapat dikategorikan sebagai jima’, meskipun mungkin telah terjadi hubungan yang lain.
Dalil yang mendasari perkara ini adalah sabda Rasulullah SAW: “Apabila salah seorang di antara kalian jima’, hendaklah ia bersuci.” (Hadis Riwayat Muslim).
Undefined
Laki-laki dan perempuan yang sudah bertemu di tempat khitan disebut jima. Hal ini mewajibkan mandi junub, meskipun tidak terjadi ejakulasi. Dalam hadis, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jika bertemu dua khitan, maka telah wajib mandi junub.”
Dalam hadis yang lain, beliau bersabda:
“بين شعبها الاربع ثم جهدها فقط وجب الغسل وان لم ينزل”
(Riwayat Ahmad, status hadis sahih).
Artinya, jika seorang lelaki duduk di antara empat cabang wanita—yang dimaksud adalah dua paha dan dua betis—dan melakukan penetrasi, maka dia wajib mandi junub meskipun tidak terjadi ejakulasi. Penetrasi ini mencakup cara yang halal maupun cara yang haram.
Sebagai contoh, jika seseorang melakukan hubungan biologis yang haram, misalnya dengan memasukkan kemaluannya ke dalam dubur wanita, maka meskipun tidak keluar mani, dia tetap mengalami janabah. Hal ini dianggap sebagai zina dan dikenakan hukum yang berlaku, serta disebut sebagai perbuatan fahisyah.
Kaum Luth dikenal dengan perbuatan fahisyah yang dicontohkan dalam syariat sebagai perbuatan haram. Seperti dalam hal memasukkan organ genital manusia ke dalam dubur, ini merupakan tindakan yang diharamkan. Oleh itu, jika seorang lelaki melakukan penetrasi di dubur wanita, dia telah melakukan al-ilaj dan mengalami keadaan janabah, yang mengharuskannya untuk mandi junub, meskipun perbuatan tersebut adalah haram.
Janabah adalah keadaan yang ditandai dengan keluarnya air mani. Dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
**”وَخَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ مَاءٍ مَّهِينٍ”**
(“Dan Kami menciptakan manusia dari air yang hina.” – QS. Al-Mulk: 20)
Sifat-sifat air mani antara lain adalah ia terpancar dan disertai dengan syahwat serta kelezatan. Setelah itu, biasanya seseorang merasa keletihan atau kelemasan, dan memiliki aroma khas. Namun, perlu diingat bahwa keluarnya air mani (al-khuruj) harus benar-benar terjadi. Jika hanya dirasakan di dalam dan tidak keluar, maka tidak diwajibkan mandi junub dan belum dianggap janabah.
Dalil yang menunjukkan hal ini terdapat dalam hadis Ummu Sulaim. Beliau berkata kepada Nabi Muhammad SAW:
**”يا رسول الله، إن الرجل يُعْتَرض في المنام، فقال النبي: نعم، عليه الغسل.”**
(“Wahai Rasulullah, seorang lelaki mengalami mimpi basah. Nabi menjawab: Benar, dia wajib mandi junub.”)
Dengan demikian, dosanya tergantung pada hukum syariat dan harus dipahami dengan baik.
Terkena janabah apabila seseorang melihat air keluar, yang mana para ulama menyatakan bahawa istilah janabah merujuk kepada keluarnya air mani. Jika hanya merasakan gerakan pada kemaluan tanpa mengeluarkan air mani, baik lelaki mahupun wanita, maka mereka tidak dianggap telah mengeluarkan mani. Hal ini termasuk dalam kategori yang halal dan haram.
Keluaran air mani dapat terjadi melalui pelbagai cara, sama ada melalui perenungan, pandangan, hubungan, atau mimpi. Intinya, jika air mani dikeluarkan, maka seseorang itu telah terkena janabah dan wajib mandi junub.
Terdapat beberapa sebab mengapa seseorang wajib mandi junub:
Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Baqarah (2:222): “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Maka, adalah penting untuk memahami dan memenuhi kewajiban ini agar kita sentiasa dalam keadaan bersih dan suci.
Kelahiran atau darah yang keluar bersamaan dengan kelahiran tidak dianggap sebagai darah nifas; darah tersebut dikenali sebagai “dam fasid” (دَم فاسد). Dam fasid adalah darah yang dianggap rusak, seperti darah istihadah. Nifas hanya dikatakan sah apabila darah keluar setelah kelahiran.
Sebagai contoh, jika seorang wanita mengalami pendarahan dua hari sebelum kelahiran dan telah merasakan ketegangan serta pembukaan serviks yang pertama dan kedua, menurut mazhab Syafi’i, dia masih belum terkena hadas besar. Oleh itu, wanita tersebut tetap wajib untuk melaksanakan salat. Meskipun keadaan ini mungkin merepotkan, mazhab Syafi’i berpendapat demikian. Jika dia tidak mampu melaksanakan salat, maka dia boleh mengqada’nya.
Kewajiban untuk salat tidak lagi berlaku apabila darah keluar setelah kelahiran dan sudah dianggap sebagai darah nifas. Semua darah yang keluar sebelum kelahiran atau bersamaan dengan kelahiran tidak dianggap sebagai darah nifas menurut mazhab Syafi’i. Namun, pandangan ini berbeza dengan mazhab Hambali, yang menganggap bahawa darah yang keluar sehari atau dua hari sebelum kelahiran adalah darah nifas. Secara kedokteran, darah tersebut adalah darah biasa yang keluar menjelang proses kelahiran.
Darah nifas tidak harus disyaratkan setelah kelahiran. Mengikut mazhab Syafi’i, nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Darah ini dianggap sebagai nifas hanya jika ia keluar setelah kelahiran. Sekiranya terdapat darah selepas kelahiran, maka seseorang itu perlu menunggu hingga suci. Setelah suci, barulah diwajibkan untuk mandi janabah.
Seterusnya, mengenai perkara keempat, yaitu al-wiladah (kelahiran), terdapat perbezaan pendapat di kalangan para ulama. Menurut mazhab Syafi’i, jika seorang ibu melahirkan anak tanpa mengeluarkan darah sama sekali—suatu keadaan yang sangat jarang berlaku—maka ia perlu diperhatikan. Dalam kondisi seperti ini, meskipun tidak ada darah nifas, adalah wajib bagi ibu untuk mandi. Ini kerana mengikut mazhab Syafi’i, proses kelahiran anak merupakan hasil dari pertemuan antara air mani dan sel ovum wanita. Dengan keluarnya anak, sama seperti keluarnya air mani, maka hukum untuk mandi dalam keadaan janabah menjadi wajib. Istilah ini merujuk kepada najis besar yang memerlukan mandi, sebagaimana firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ (المائدة: 6)
Oleh itu, keluarnya anak adalah merupakan suatu keadaan yang memerlukan mandi, sama seperti keluarnya air mani. Wallahu a’lam.
Keluarnya anak mewajibkan mandi junub, sama seperti keluarnya air mani yang juga mewajibkan mandi junub. Anak adalah hasil dari air mani dan sel-sel ovum. Namun, ada khilaf yang tidak terlalu penting mengenai hal ini. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahawa kebanyakan wanita yang melahirkan mengalami pendarahan. Pendarahan ini, meskipun sedikit dan mungkin hanya sementara, adalah darah nifas. Jika ia adalah darah nifas, maka wanita tersebut diwajibkan untuk mandi junub atau mandi besar.
Di antara sebab-sebab yang mewajibkan mandi junub adalah kematian. Menurut hukum, memandikan mayat adalah fardhu kifayah bagi orang yang hidup, kecuali bagi mereka yang mati syahid. Mayat yang syahid tidak perlu dimandikan.
Sebagai ringkasan, sebab-sebab mandi junub dapat dikumpulkan menjadi lima, yaitu:
Selanjutnya, kita akan membahas tentang tata cara mandi. Mandi dapat dibahagikan kepada dua kategori, iaitu mandi ibadah dan mandi kebiasaan. Mandi ibadah adalah mandi yang dilakukan dengan niat untuk ibadah, sementara mandi kebiasaan adalah mandi yang dilakukan hanya untuk kebersihan dan kesegaran, tanpa ada kaitan dengan ibadah. Mandi yang merupakan ibadah dapat dibahagikan kepada dua model.
Mandi untuk menghilangkan hadas besar dapat dibagi kepada dua jenis, yaitu mandi yang minimal sah dan mandi yang optimal.
Jika seseorang memenuhi dua syarat ini, maka mandinya dianggap sah. Misalnya, jika seseorang masuk ke dalam kolam renang dengan niat mandi untuk menghilangkan hadas, maka mandi itu sudah dianggap sah asalkan seluruh tubuhnya dibasahi.
Dalam hal ini, penting untuk diingat bahwa tidak diperlukan cara tertentu dalam mandi, yang terpenting adalah seluruh tubuh telah dibasahi.
Sebagai referensi, Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
– **“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak shalat, maka berwudhulah…”** (QS. Al-Ma’idah: 6)
– Mandi setelah hadas besar juga merupakan praktik yang diajarkan dalam sunnah Nabi Muhammad SAW.
Status dalil: Ayat Al-Qur’an di atas memiliki autentikasi sahih dan sering dijadikan rujukan dalam fikih.
Tertib dalam mandi junub adalah penting, tetapi tidak ada urutan yang ketat yang harus diikuti. Kita boleh membasuh bahagian mana pun terlebih dahulu, sama ada tangan, kepala, kaki, atau badan. Yang terpenting adalah niat, yang harus diperbaharui ketika kita memasuki kamar mandi. Setelah keluar, mandinya sudah dianggap sah.
Mandi junub yang sah adalah mandi yang memenuhi syarat minimal. Namun, menyempurnakan mandi dengan melaksanakan sunnah-sunnah adalah sangat dianjurkan. Beberapa sunnah mandi yang disarankan antara lain:
Ulama Syafi’i juga menyarankan untuk mengakhiri mandi dengan doa, seperti doa setelah wudhu. Ini adalah beberapa sunnah yang seharusnya dilaksanakan ketika mandi junub atau mandi besar.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’idah (5:6):
“يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى المَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.”
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian berdiri untuk shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai siku, dan usaplah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai mata kaki.” (QS. Al-Ma’idah: 6)
Portugis yang rendah hati akan mengerjakan sunnah tersebut agar manfaatnya dapat diterima dengan baik.
Membaca “Bismillah” atau “Bismillahirrahmanirrahim” adalah langkah awal yang baik. Setelah itu, cucilah tangan seperti prosedur berwudhu. Pertama, bersihkan kemaluan dengan sabun jika terdapat sisa-sisa air mandi atau kotoran. Pastikan semuanya sudah bersih sebelum buang hajat.
Setelah buang hajat, berwudhulah seperti biasa. Menurut ulama Syafi’i, ada dua cara untuk berwudhu. Pertama, melaksanakannya secara sempurna langsung. Kedua, mengakhirkan pencucian kaki setelah selesai mandi. Cara kedua ini bertujuan agar kita tidak lupa, maka disarankan untuk berwudhu hingga sempurna.
Setelah selesai berwudhu dan mencuci kaki, ambil air untuk kepala dan gosok-gosokkan hingga tiga kali, memastikan air mengenai kulit kepala.
Bagi wanita yang memakai konde, seperti dalam hadis Ummu Salamah, apakah mereka harus melepaskan konde tersebut? Hal ini tergantung pada ketat tidaknya konde itu. Jika konde tidak terlalu ketat dan air masih dapat mengenai rambut serta kulit kepala, maka tidak perlu dilepas. Namun, jika konde terlalu ketat hingga menutupi pori-pori atau kulit kepala, sebaiknya konde tersebut dilepas. Sebaliknya, jika konde tersebut ringan dan masih memungkinkan air mengenai kulit kepala, maka tidak perlu dilepas.
Sebagian wanita mungkin tidak menyadari hal ini.
Mandi besar sebaiknya disertai keramas, meskipun sebenarnya tidak wajib. Keramas lebih disarankan kerana air harus mengenai seluruh bagian kepala. Namun, jika air saja sudah cukup mengenai kepala, itu juga sudah memadai. Setelah berwudhu, ambil air dan gosokkan ke kepala sebanyak tiga kali. Setelah itu, siramkan air ke kepala sebanyak tiga kali.
Kemudian, untuk mencuci tubuh, mulailah dari bagian kanan. Sebahagian ulama, termasuk Syafi’iyah, memperincikan bahawa sebaiknya mencuci bagian depan terlebih dahulu sebelum bagian belakang, tetapi intinya adalah mencuci bagian tubuh di sebelah kanan. Jika menggunakan shower, mudah untuk memulakannya dari sebelah kanan dan kemudian berpindah ke sebelah kiri. Hal ini adalah sunnah, jadi disunahkan untuk mencuci sebelah kanan dahulu sebelum sebelah kiri.
Jika kita memilih untuk mengakhirkan mencuci kaki, kita boleh melakukannya setelah berwudhu, di mana kita mencuci wajah, tangan, dan kepala terlebih dahulu, lalu meninggalkan kaki hingga setelah mandi. Ini adalah dua cara yang boleh dilakukan; kaki boleh dicuci setelah mandi atau segera setelah wudhu secara lengkap. Setelah mandi, disunahkan untuk membaca doa.
Al-Imam Nawawi menyatakan bahawa dalam mandi, dianjurkan untuk tidak membuka aurat, meskipun dalam keadaan mendesak, membuka aurat boleh dibenarkan.
Hajat merupakan suatu keperluan. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa mandi dengan menutup aurat adalah lebih baik. Meski demikian, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mandi tanpa pakaian juga dibolehkan. Imam Bukhari dalam Shahih Bukhari mencatat beberapa hadis mengenai para nabi yang mandi tanpa pakaian. Misalnya, Nabi Ayub alaihissalam mandi dalam keadaan telanjang. Nabi Musa alaihissalam juga mandi tanpa berpakaian.
Aisyah radhiyallahu anha ketika ditanya apakah seorang suami boleh melihat aurat istrinya, memberikan dalil bahwa ia pernah mandi bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dari satu tempayan dalam keadaan junub. Dalam situasi itu, mereka saling melihat aurat masing-masing. Dari keterangan Aisyah radhiyallahu anha ini, dapat disimpulkan bahwa membuka aurat saat ada hajat, seperti mandi atau berhubungan suami istri, tidaklah menjadi masalah.
Di antara sunah-sunah mandi adalah menghadap kiblat. Dalam kitab-kitab Syafi’i, disunahkan untuk menghadap kiblat saat mandi, sama seperti dalam berwudhu. Hal ini karena keadaan mandi bukanlah waktu yang bersifat menghalang.
Membersihkan kotoran saat melakukan ibadah bersuci seperti wudhu dan mandi memiliki perbedaan. Istinja, cebok, dan buang air adalah hal yang berbeda. Dalam konteks ini, ketika mandi, justru dianjurkan untuk menghadap kiblat.
Mengenai mandi yang disunahkan, terdapat banyak jenis mandi yang disebutkan dalam buku-buku fiqh. Di antara yang disunahkan adalah mandi pada hari Jumat. Terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai hukum mandi pada hari Jumat; ada yang mengatakan wajib dan ada yang berpendapat sunah. Namun, menurut madzhab Syafi’i, mandi pada hari Jumat adalah sunah.
Mandi ini dimulai sejak terbit fajar pada hari Jumat. Artinya, jika seseorang mandi sebelum azan Subuh, itu bukanlah mandi Jumat yang dimaksud. Mandi yang terbaik adalah yang dilakukan menjelang keberangkatan ke masjid agar lebih harum saat hadir di majlis.
Selain itu, mandi juga disunahkan sebelum salat Id, meskipun tidak ada hadis khusus dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mengenai hal ini. Namun, tetap lebih utama untuk mandi pada hari Jumat serta pada hari raya, baik untuk salat Id maupun salat Jumat yang merupakan hari raya mingguan.
Mandi merupakan salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam, terutama dalam beberapa keadaan tertentu seperti salat gerhana dan salat istisqa (salat meminta hujan). Ini termasuk di antara mandi yang sangat dianjurkan. Selain itu, ada juga mandi yang berkaitan dengan ibadah haji dan umrah.
Mandi ketika ihram, misalnya, adalah salah satu amalan yang disyariatkan. Ada juga mandi sebelum memasuki Kota Mekah, mandi sebelum wukuf di Padang Arafah, serta mandi sebelum melempar jamarat. Begitu juga, ada mandi yang dianjurkan ketika memasuki Kota Madinah.
Dalam hal mandi, penting untuk memastikan bahwa semua bagian tubuh terkena air. Hal ini termasuk memperhatikan lipatan-lipatan pada tubuh, terutama bagi mereka yang memiliki berat badan lebih, seperti lipatan di perut yang mungkin tidak terkena air. Wanita juga perlu memperhatikan area di bawah dada dan ketiak agar semua anggota tubuh terbasuh dengan baik.
Dalam hadis disebutkan: “مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ” (Barang siapa yang memandikan mayit, maka hendaknya ia mandi) – [Hadis Shahih]. Ini menegaskan tentang pentingnya mandi setelah memandikan mayit.
Oleh itu, setiap orang harus memperhatikan cara mandi yang benar agar semua bagian tubuh terbasuh, sesuai dengan tuntunan syariat.
Wanita juga perlu ingat bahwa bagian luar farji mereka harus terkena air saat mandi. Hal ini penting, karena segala sesuatu yang tampak dari luar memang harus terkena air. Namun, untuk rongga hidung dan berkumur, menurut madzhab Syafi’i, tidak wajib untuk dibasahi. Oleh karena itu, jika seseorang mandi tanpa berkumur-kumur atau membasahi lubang hidungnya, mandi tersebut tetap sah, karena yang wajib dibasahi adalah bagian luar.
Selanjutnya, kita akan membahas hal-hal yang dimakruhkan ketika mandi. Yang pertama adalah penggunaan air yang terlalu berlebihan. Sebagaimana diriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mandi dengan menggunakan air sebanyak 4 atau 5 mudd (takaran). Padahal, beliau memiliki rambut yang cukup lebat. Hal ini menunjukkan bahwa beliau mandi dengan air secukupnya.
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu, ketika ditanya tentang mandi, beliau mengatakan bahwa cukup dengan satu sho’ (ember). Ada orang yang merasa bahwa satu sho’ tidak cukup baginya. Namun, Jabir menjelaskan bahwa di masa lalu, satu sho’ sudah cukup untuk orang yang memiliki rambut lebih tebal dan lebih banyak.
**Dalil**:
Daripada engkau, ya, tetapi tidak ada pembatasan mengenai berapa banyak. Namun, intinya adalah secukupnya seorang jangan membuang-buang air, kecuali secukupnya.
Kemudian, antara hal yang dimakruhkan adalah mandi di air yang diam. Janganlah mandi di air yang tenang dan tidak mengalir dalam kondisi junub. Kenapa? Karena orang akan merasa jijik dengan air yang bekas digunakan oleh orang yang mandi di situ.
Ini, ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, para jamaah Masjid As-Sunnah Bintaro yang dirahmati. Kita telah menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan mandi. Demikian yang dapat saya sampaikan kepada para jamaah Masjid As-Sunnah Bintaro, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan rahmat-Nya kepada kita. Insya Allah, kita akan lanjutkan pekan depan.
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!
10 Pembaca Terbanyak