Sekiranya ada kesilapan pada transkrip, anda boleh rujuk video ini untuk semakan.
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!
Kita akan mencoba membahas satu kitab yang sangat mulia yaitu kitab fiqih yang judulnya Bidayatul Mujtahid, Wa Nihayatul Muqtasid yang dikarang oleh Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rush al-Qurthubi. Yaitu Ibnu Rush al-Hafid yang wafat pada tahun 595 Hijriah. Adapun pada pertemuan kali ini, ita akan bahas pertama kali tentang mukadimah. Kita akan bahas tentang urgensinya (keutamaan) kitab ini.
Kitab ini memiliki banyak kelebihan. Saking begitu hebatnya kitab ini, ianya dipuji oleh banyak ulama. Diantaranya, dipuji oleh az-Zahabi rh dalam kitabnya Tarikhul Islam.
Beliau berkata “Kitab Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid, kitab fiqih ini di mana Ibnu Rush memberi ta’lil tentang sebab permasalahan khilaf. Kemudian beri pengarahan terhadap permasalahan khilaf, yang adalah masalah fiqih”.
Kemudian di akhir ibaratnya, Imam az-Zahabi rh berkata “dan kami tidak mengetahui ada buku yang lebih bermanfaat dari buku ini dalam ilmu fiqih, tidak ada yang lebih bermanfaat dari Kitab Bidayatul Mujtahid. Dan tidak ada kitab yang membawa, memaparkan masalah fiqih dengan cara yang terbaik seperti Kitab Bidayatul Mujtahid”.
Ini menunjukkan tentang urgensinya kitab ini. Oleh karenanya, kitab ini adalah salah satu kitab yang menjadi muqarrar atau kurikulum di al-Jami’ah al-Islamiyyah bil Madinah al-Munawwarah yaitu di Universitas Islam Madinah. Ketika zaman saya belajar, kitab ini masih menjadi kitab muqarrar, menjadi kurikulum. Di antara sebabnya, karena kita tahu yang belajar di Universitas Islam Madinah dari berbagai mancanegara. Lebih dari 100 negara Islam yang memiliki mazhab yang berbeda-beda. Ada yang bermazhab Hambali, ada yang bermazhab Syafi’i, ada yang bermazhab Hanafi, dan ada yang bermazhab Maliki. Kemudian mereka berkumpul di Universitas Islam Madinah. Kemudian mereka belajar fiqh. Di antara yang menjadi muqorror adalah Kitab Bidayatul Mujtahid. Tentunya kitab fiqh ini dipilih oleh para ulama sebagai muqorror karena dia adalah termasuk atau buku yang terbaik dalam membahas fiqh 4 mazhab.
Jadi kita akan jelaskan beberapa sisi. Bagusnya kitab ini ada beberapa sisi tentang urgensinya. Yang pertama, kitab ini menjelaskan fiqh 4 mazhab, bahkan lebih. Tidak hanya 4 mazhab. Bahkan beliau terkadang menyebutkan di luar dari 4 mazhab itu. Pendapat para salaf yang di luar dari 4 mazhab. Menjelaskan fiqh 4 mazhab dengan komparasi yakni perbandingan di antara pendapat-pendapat fiqh tersebut.
Kemudian di antara keistimewaan kitab ini, ianya tidak hanya memaparkan permasalahan dengan pendapat-pendapatnya. Kebanyakan buku fikih seperti itu. Mereka menyebutkan asal ini ada pendapat. Pendapat pertama, pendapat ke-2 pendapat ke-3, pendapat ke-4. Ini dalilnya, ini dalilnya, ini dalilnya. Kebanyakan buku-buku fikih seperti itu. Tetapi diantara kelebihan Ibnu Rush adalah beliau berusaha mencari rahasia khilaf di antara 4 mazhab ini. Apa sebab khilaf ini?. Menakjubkan, dia berusaha menampilkan sebab utama terjadi khilaf.
Ini suatu yang jarang nampak dalam buku-buku fikih secara umum. Sebagian buku-buku fikih menampilkan sebab khilaf. Dan sebagian hanya memaparkan. Tapi Ibnu Rush, setiap permasalahan beliau berusaha menampilkan apa sebab khilaf dari permasalahan tersebut sehingga ketika seorang baca buku ini dia tahu, oh ternyata khilafnya di sini. Dia tahu titik permasalahan. Kalau bahasa kita, titik permasalahan di mana sih?. Kenapa ada 4 pendapat?. Maka beliau jelaskan.
Kemudian di antara urgensinya kitab ini yang ke-3 adalah kitab ini menggabungkan praktek usul fikih. Kemudian Qawaid fikihnya dengan hukum-hukum fikih. Ini di antara kelebihan yang tidak didapatkan dalam buku-buku fiqih lainnya. Artinya benar-benar dipraktekkan. Tidak kita dapatkan pada buku-buku fiqih yang lain. Makanya siapa yang belajar kitab Bidayatul Mujtahid, maka dia akan melihat bagaimana praktek usul fikih, Qawaid Fiqhiyyah. Bukannya sekedar hukum. Tapi di situ ada praktek usul fikih dan praktek Qawaid Fiqhiyyah. Tidak sebagaimana kitab-kitab fikih yang yang lainnya.
Sebelum saya lanjutkan, saya ingin jelaskan sedikit. Sebagai gambaran karena tidak semua orang paham apa itu Fiqh, apa itu Usul Fiqh, apa itu Qawaid Fiqhiyyah, apa itu Dhowabith Fiqhhiyyah. Saya kasih gambaran sederhana aja tentang istilah-istilah tersebut.
Jadi kalau kita bicara tentang Ilmu Fiqh. Ilmu Fiqh dibangun di atas Usul Fikih. Apa itu Usul Fiqh?. Sederhananya, Usul Fiqh adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara mengambil hukum dari suatu dalil. Kalau dalil bunyinya begini, apa sih hukumnya?. Ini namanya Ilmu Usul Fiqh. Dipelajari masalah Dalalatul Alfaz, ada Zahir, ada Nasakh, ada Muawwal. Kemudian ada Am ada Khos. Lafaz-lafaz itu penunjukannya apa?.
Misalnya asal dalam perintah adalah menunjukkan kewajiban, sampai ada dalil yang memalingkan dari wajib, maka menjadi sunah atau menjadi mubah. Kemudian juga pembahasan asal dalam larangan adalah untuk pengharaman. Nanti ada namanya Am, ada namanya Khos, ada namanya Mutlak, adanya Muqayyad, ada Nasikh, ada Mansukh. Ini semua dipelajari dalam Ilmu Usul Fiqih yaitu ilmu untuk mengambil hukum dari suatu dalil. Ini dalilnya apa?.
Usul Fikih diperlukan untuk mengambil hukum-hukum fikih, atau permasalahan permasalahan fikih. Kalau orang tidak tahu Usul Fikih, dia tidak akan bisa mengambil hukumnya.
Apa contoh?. Saya contohkan sederhana, seperti firman Allah SWT misalnya dalam al-Quran “Dan dirikanlah solat dan tunaikanlah zakat”. Dirikanlah ini adalah Fi’il Amr. Ini kata perintah, kata kerja perintah Fi’il Amr. Perintah untuk mengerjakan salat.
Solat hukumnya apa?. Sekarang kita ingin tahu apa hukum solat. Maka datang fe’el dalam bentuk kata perintah. Kita lihat Ilmu Usul Fiqh. Di sini kita cek kembali kepada Usul Fiqh. Ternyata dalam Usul Fiqh disebutkan bahwasanya asal perintah adalah wajib. Maka, ketika Allah mendatangkan firmannya “Dan dirikanlah salat”. Maka Usul Fiqh menunjukkan hukum salat adalah wajib. Maka ini hukumnya wajib. Kenapa wajib?. Karena Usul Fiqh menunjukkan demikian. Maka di sini hasilnya adalah wajib.
Jadi fikih dibangun di atas Usul Fiqh. Ini namanya fikih.
Nanti kemudian ada istilah namanya al-Qawaid al-Fiqhiyah. Kaedah-kaedah fikih. Apa itu?. Ianya adalah kesimpulan dari hukum-hukum fiqih yang ada.
Jadi hukum fiqih ini ada ribuan permasalahan. Dari permasalahan tersebut para ulama melihat hukumnya begini dari sekian hukum. Bisa ditarik benang merah bahwasanya ada beberapa kaidah yang bisa kita ambil dari hukum-hukum Islam. Maka kesimpulan hukum-hukum Islam itu disebut kaidah-kaidah fikih.
Kaidah hanya sekedar memudahkan. Dia adalah kesimpulan dari berbagai macam hukum. Sehingga contoh kita dalam kaidah fikih ada dua. Ada namanya kaidah fikih besar (Qawaid Fiqhiyyah Kubro). Kemudian ada yang kecil (Qawaid Fiqhiyyah Sughro). Disebut kaedah fiqh besar karena dia mencakup dalam berbagai banyak bab fikih. Adapun kaedah fiqh kecil terkadang hanya mencakup sebagian bab-bab fikih aja. Yang lebih kecil lagi namanya Dhoobitul Fiqhi.
Kaedah besar Qawaid Fiqhiyyah ada 5.
Ini sudah pernah saya bahas dalam pembahasan khusus tentang al-Qawaid al-Kubro al-Khomsah. Ini, setelah dilihat berbagai macam hukum, maka bisa disimpulkan. Ternyata hukum-hukum Islam ini bisa kita ambil benang merahnya. Kita simpulkan dalam beberapa kaidah. Ini namanya al-Qawaid al-Fiqhiyyah.
Ketika dalam membahas kitab Bidayatul Mujtahid, ini dipakai semua. Jadi dia tidak hanya fokus membahas tentang masalah fikih saja. Bukan ini aja. Ini hukumnya, ini ada pendapat, 5 pendapat, 1, 2, 3, 4, 5. Tidak.
Tetapi Ibnu Rush berusaha mencari sebab terjadi khilaf. Kemudian dia mulai merojihkan dengan menggunakan kaidah fikih atau dia menggunakan Qawa’id Usuliyah. Dan ini diantara yang menakjubkan dari kitab Bidayatul Mujtahid. Sehingga seorang akan jadi cerdas dalam menghadapi permasalahan fikih. Tidak hanya taqlid buta, tapi dia bisa mengerti kenapa terjadi khilaf. Kenapa ini yang dirojihkan oleh Ibnu Rush dan seterusnya. Sehingga dia terlatih untuk bahas masalah-masalah fikih.
Ini gambarannya bahwasanya Kitab Bidayatul Mujtahid bukan hanya kitab fiqih semata. Tapi dia menggabungkan antara Praktek Usul Fiqih, Qawa’id Fiqhiyyah dan hukum-hukum fikih. Jadi bukan hanya hukum-hukum fikih, tapi kaidah-kaidah juga dipelajari. Dan ini tidak kita dapati dalam kitab-kitab fikih yang lain, yang muthawwal menggunakan metodenya Ibnu Rush ini. Seperti kitab-kitab terkenal yang membahas tentang fikih 4 mazhab seperti al-Mughni Ibnu Qudamah, kemudian al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab karya an-Nawawi, kemudian al-Muhalla bil Athar karya Ibnu Hasyim al-Zahiri. Tidak seperti Ibnu Rush yang benar-benar dia menggunakan Usul Fiqh ketika dia merojihkan suatu pendapat. Dan beliau benar-benar seorang terlatih.
Kemudian di antara urgensinya kitab ini. Disebutkan oleh Syeikh Abdullah Zahim. Buku ini diantara faedahnya yang ke-4. Ini faedah yang penting. Ianya menjadikan seseorang mengagungkan dalil. Yang dimaksud dengan dalil sini bukan berarti cuma al-Quran, as-Sunnah atau Kaedah. Tetapi artinya berusaha mengedepankan dalil. Baik al-Quran atau seumpamanya. Dalil itu banyak. Ada al-Quran, dan as-Sunah, kemudian penerapan dalam kaidah Usul dalam memahami dalil-dalil tersebut.
Intinya Ibnu Rush mengajarkan supaya seorang berusaha untuk ittiba’. Mengikuti dalil al-Quran dan as-Sunnah dan bagaimana cara memahami al-quran dan as-Sunnah tersebut dengan kaidah-kaidah usul fiqih. Ini di antara manfaat dari buku ini.
Kemudian diajari tidak mendahulukan kias dan pendapat, di atas dalil. Ketika Ibnu Rush menjelaskan ada kias disebut oleh para ulama, dan ternyata ada dalil nas yang kuat. Maka beliau mendahulukan nas. Sehingga seorang ketika belajar buku Ibnu Rush, mereka melihat bagaimana Ibnu Rush mendahulukan nas daripada perkataan para ulama atau qiyas yang merupakan dalil far’i.
Kemudian diantaranya mengajari kita untuk tidak fanatik kepada mazhab tertentu. Ibnu Rush bermazhab Maliki. Tapi beliau tidak selalu merajihkan pendapat Mazhab Maliki ketika dia memaparkan permasalahan. Beliau terkadang merojikan pendapat yang lain. Bahkan beliau terkadang meninggalkan 4 mazhab. Ada pendapat salaf yang beliau pilih. Ini menghilangkan fanatisme terhadap mazhab tertentu. Bahkan beliau tidak segan-segan untuk menyelisi 4 mazhab jika memang dalil menunjukkan hal itu.
Saya bacakan di sini dua contoh permasalahan di mana Ibnu Rush menyelisihi Jumhur Ulama, menyelisi 4 mazhab. Sehingga Ibnu Rush mengajarkan bahwasanya kebenaran tidak terbatas oleh 4 mazhab karena mazhab bukan cuma 4. 4 mazhab tersebut adalah mazhab yang terkenal. Namun di sini ada mazhab-mazhab salaf yang mungkin tidak menjadi tersohor seperti 4 mazhab yang kita kenali.
Diantaranya contoh yang disebut oleh Syeikh Abdullah Zahim. Beliau menyebutkan tentang masalah “Almas ala al-Khuf al-Muharraq”. Kita tahu bahwasanya seorang yang sudah berwudhu. Kemudian dia pakai al-Khuf, pakai sepatu atau pakai Jauraq yang menutup mata kakinya. Maka kalau dia batal wudhu’, dia tidak perlu membuka sepatunya. Dia cukup mengusap sebagaimana kita pelajari dalam kitab thaharah. Dia hanya cukup mengusap.
Nah, 4 mazhab berpendapat bahwasanya sepatu yang dipakai ini tidak boleh bolong, tidak boleh robek. Kalau robek, maka tidak sah. Kalau kelihatan kulitnya, misalnya khufnya ada robek, terus ada kelihatan kulit kaki, ada robek. Ini tidak sah. Ini pendapat 4 mazhab. Maka pendapat ini diselisihi oleh ath-Tauri. Imam ath-Thauri salah seorang dari ulama salaf.
Kemudian Ibnu Rush menukil perkataan imam ath-Thauri untuk menyelisi jumhur ulama. Di mana ath-Thauri berkata, perhatikan kata ath-Thauri yang dinukil oleh Ibnu Rush “Ketahuilah bahwasanya khuf para Muhajir dan Ansar dulu, para sahabat, mereka khufnya robek. Mereka bukan orang kaya. Sepatu mereka robek robek. Tidak ada sepatu mereka yang selamat daripada robekan karena kebanyakan mereka miskin”. Sebagaimana sepatu, khufnya orang zaman sekarang. Itu di zaman beliau (Ibnu Rush), di abad ke-6.
“Banyak orang khufnya yang ada robek. Tidak selamat seluruhnya, pasti ada robeknya meskipun sedikit. Kalau seandainya di zaman sahabat memakai khuf yang robek dilarang untuk di diusap, maka tentu ada nukilannya. Tentu nabi akan menyebutnya atau dinukil dari mereka. Nabi akan menyebutkan hukumnya. Kalau nabi menyebut hukum tentang tidak bolehnya, maka akan dinukil dari para sahabat”.
Ibnu Rush kemudian mengomentari perkataan ath-Thauri. “Ini permasalahan yang tidak dijelaskan ada dalil tentang permasalahan ini. Kalau ada hukumnya, (artinya tidak diperbolehkan), padahal ramai orang yang mempunyai sepatu yang robek, tentu Nabi SAW akan menjelaskannya.” Ini contoh beliau keluar dari mazhab jumhur yang mensyaratkan bahawa khuf hanya sah untuk diusap kalau tidak robek. Kata beliau tidak jadi masalah. Ini pendapat Ibnu Taimiyah rh juga. Tapi beliau menukil ath-Thauri karena Ibnu Taimiyah datang setelah Ibnu Rush. Ibnu Taimiyah abad ke-8, Ibnu Rush abad ke ke-6.
Jadi di sini bagaimana Ibnu Rush rh tidak mengajarkan fanatik mazhab. Bahkan kepada 4 mazhab beliau bisa keluar dari pendapat 4 mazhab.
Diantaranya lagi, permasalahan ke-2 yang disebutkan contoh oleh Syeikh Abdullah Zahim, pentahqiq Kitab Bidayatul Mujtahid, seperti permasalahan apakah orang yang meninggalkan salat dengan sengaja, wajib untuk mengqadha.
Jadi orang yang meninggalkan salat ada dua model. Yang pertama dengan sengaja, yang ke-2 tidak sengaja karena uzur. Uzur tersebut bisa jadi lupa atau ketiduran. Untuk yang karena uzur, ada hadisnya. Kata Nabi SAW “Siapa yang lupa atau tidur, maka salat jika ingat jika ingat”. Nabi SAW mengatakan jika lupa salat, maka salat jika ingat. Tadi dia ketiduran sampai habis waktu, atau dia lupa sampai habis waktu, kemudian dia ingat di waktu yang lain. Maka nabi SAW perintahkan salat jika ingat. Ini namanya qada. Qada itu artinya dikerjakan di luar waktu. Dia lupa salat Zuhur. Dia lupa. Ternyata dia baru ingat semasa Maghrib bahawa tadi dia belum salat Zuhur. Maka dia salat Zuhur pada ketika itu, meskipun di waktu Maghrib. Ini seorang meninggalkan salat karena uzur. Sepakat bahwasanya harus diqada.
Bagaimana dengan sengaja?. Tidak ada dalil khusus. Maka perhatikan pandangan jumhur ulama. Mayoritas 4 mazhab bahwa hukumnya wajib diqada. Apa dalilnya?. Dalilnya kias. Kias apa?. Kias Aulawi. Kalau yang lupa saja disuruh qada, apalagi yang sengaja. Gampangnya demikian. Lebih utama. Jika yang lupa disuruh qada, apalagi yang sengaja. Ini pendapat jumhur ulama.
Ibnu Rush punya pendapat lain. Di sini saya ingin menjelaskan bahawa Ibnu Rush keluar dari 4 Mazhab. Dia mengkritik isi pedalilan dari jumhur. Saya bacakan. Perhatikan kata beliau yang mengkritik kias. Beliau mengkritik kias yang ditunjukkan oleh Jumhur Ulama dengan katanya “Kalau maksud Nabi diboleh qada’ kerana Nabi ingin bagi kekerasan kepada yang uzur, maka boleh kita mengkias.” Artinya orang yang lupa saja disuruh qada apalagi yang sengaja meninggalkan salat. Berarti tujuan nabi adalah untuk bersikap tegas kepada orang yang lupa.
“Adapun kalau maksud Nabi, siapa yang terlupa dan ketiduran, maka disuruh qada. Adalah bukan karena Nabi ingin sikap keras terhadap mereka, tapi karena kasih sayang sama mereka, agar mereka masih bisa melakukan kebaikan meskipun terlupa. Oh, nggak apa-apa. Kamu kan lupa, jadi nggak apa-apa. Bukan nabi sedang marah, kamu lupa. Maka disuruh ulangi. Kamu tidak ketinggalan kesempatan untuk berbuat kebaikan.”
Kata Ibnu Rush, kalau maksudnya Nabi adalah yang ke-2 yakni Nabi menyuruh mengqadha adalah untuk kelembutan kepada orang yang lupa. Maka tidak bisa dikiaskan dengan orang yang sengaja. Karena orang yang sengaja meninggalkan, tidak sama dengan orang yang lupa karena ada udzur. Perlu dirahmati. Adapun orang yang sengaja, tidak perlu. Maka kias ini tidak berlaku kias Aulawi. Tidak berlaku. Ini contoh maksud saya Ibnu Rush mengkritiki kias dari sisi illahnya berbeda. Ini yang saya bilang agak susah mau dijelaskan kepada jamaah.
Tapi ini saya contohkan bahwasanya Ibnu Rush mengkritiki kias. Kemudian dia menyebutkan yang ke-2 di mana dia kritiki kias ini. Dia mengatakan, “Asalnya untuk Qada’, kita tidak boleh mencukupkan hanya dengan perintah untuk ada’ (menunaikan)”. Ada’ itu perintah untuk mengerjakan pada waktunya, Qada di luar waktu. Kata beliau “Kalau kita ingin menghukumi suatu perkara jika ditinggalkan harus diqadha, tidak boleh kita hanya mengucapkan dengan dalil yang menyuruh mengerjakan solat pada waktunya. Tapi kita butuh dalil baru untuk menyuruh mengqadha”. Ini hukum asal.
Kita mendapati orang yang lupa disuruh untuk mengqadha dengan dalil yang baru. Nabi mengatakan “Kalau dia lupa, salat ketika dia ingat”. Ini perintah baru. Bukan berdasar kepada hukum perintah salat yang asal. Hukum asalnya “Dirikanlah salat pada waktunya”.
Jadi, kalau orang lupa bagaimana?. Orang ada uzur?. Untuk mengqadha, butuh dalil baru. Kata Ibnu Rush perlu ada dalil. Dalil barunya apa?. “Siapa yang lupa atau ketiduran maka hendaknya dia salat pada waktunya”. Oke kita terima. Tapi, bagi orang yang sengaja tidak ada dalil baru. Maka kalau gitu tidak bisa dikiaskan dengan orang yang lupa. Ini sekedar penjelasan bahwa bagaimana Ibnu Rush bisa keluar dari mazhab. Dan beliau tidak taqlid kepada mazhab.
Jadi saya ulangi. Beliau mengkritik kias dari dua sisi. Yang pertama kiasnya tidak pas karena sebabnya berbeda. Karena illah atau sebab berbeda. Yang ke-2 karena mengqadha butuh dalil tersendiri, butuh dalil baru. Ini semua tujuannya tadi disampaikan untuk menunjukkan kebenaran tidak dibatasi dengan 4 mazhab saja. Bisa jadi ada mazhab di luar dari 4 mazhab yang benar. Ini pendapat Ibnu Rush, pendapat Syeikh Uthaimin, pendapat Syaukani juga.
Sehingga dipilih oleh Syeikh Uthaimin rh berpendapat bahwasanya, orang yang meninggalkan salat dengan sengaja wajib hanya untuk bertobat. Tidak wajib untuk mengqadha karena tidak bisa dikiaskan dengan orang yang meninggalkan salat karena lupa. Sehingga dia hanya dianjurkan untuk perbanyak salat-salat sunnah karena dia telah meninggalkan banyak kebaikan.
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!
10 Pembaca Terbanyak