Hukum Jual Beli di dalam Masjid

Hukum Jual Beli di dalam Masjid

Hukum Jual Beli di dalam Masjid

Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Saya ingin menyampaikan suatu isu yang perlu diperhatikan. Baru-baru ini, terdapat selebaran yang dibagikan di dalam masjid. Isinya adalah tawaran untuk membeli kaset dan CD ceramah. Saya ingin bertanya, apakah ini termasuk jual beli yang dibenarkan di dalam masjid?

Sebenarnya, membagikan brosur umrah atau brosur jualan di dalam masjid adalah haram. Walaupun ada yang menganggap tindakan ini baik, kita perlu menegur mereka. Masjid bukanlah tempat untuk berjualan. Harap dihentikan tindakan ini kerana ia merupakan kesalahan yang harus diperbaiki.

Kadang-kadang, anggota tim kita memang terlalu bersemangat sehingga lupa akan tata cara yang benar. Perlu diingat, tidak diperkenankan membagikan brosur umrah di dalam masjid kerana tindakan tersebut sama seperti menawarkan dagangan. Namun, jika brosur tersebut berisi tentang dakwah, program pembangunan masjid, atau program pengajian, itu boleh dibagikan.

Apabila brosur sudah ada nilai jualannya, hukumnya menjadi haram. Nabi Muhammad SAW telah melarang transaksi dilakukan di dalam masjid. Ini adalah hal yang serius dan harus diperhatikan. Meskipun ada yang berpendapat sebaliknya, tindakan tersebut tetap salah.

Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa orang yang menjual atau menawarkan dagangan di masjid akan didoakan untuk tidak beruntung. Oleh itu, kita harus menjaga agar tidak melanggar aturan ini. Tindakan yang tidak sesuai ini dapat menyebabkan kita tidak berhasil dalam usaha lain.

Mengenai CD, jika hanya untuk promosi dan dibagikan secara gratis di luar masjid, itu boleh. Namun, jika ingin membagikan informasi tentang jualan di dalam masjid, itu tidak boleh.

Saya mohon kepada tim yang bersangkutan agar memberi contoh yang baik. Jangan mengumumkan tentang dagangan di dalam masjid. Terima kasih atas perhatian semua.

Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.

Menghadiahkan Pahala kepada Orang yang Telah Meninggal

Menghadiahkan Pahala kepada Orang yang Telah Meninggal

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang kami hormati, kebiasaan ibu-ibu di sini adalah sering hadir di majelis-majelis taklim. Akibatnya, ibu-ibu ini sering mendoakan acara tahlilan dan membaca surat Yasin. Namun, ada pendapat dari para kiai atau orang-orang yang alim yang mengatakan bahwa doa seorang ibu tidak diterima atau tidak sah. Hal ini membuat ibu-ibu merasa kecil hati. Apakah benar seperti itu, Bu? Mohon penjelasannya. Terima kasih.

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ketika seseorang membaca ayat Al-Qur’an, Insya Allah, pahalanya juga diberikan kepada kita. Ini disebut tawasul dengan amal saleh. Kita bisa mengambil contoh dari cerita tiga orang yang terperangkap di dalam sebuah gua. Mereka masuk ke dalam gua untuk berlindung dari rintik hujan. Namun, setelah memasuki gua, sebuah batu tergelincir dan menutup pintu gua, sehingga mereka tidak bisa keluar.

Cerita ini diceritakan oleh Rasulullah. Ketiga orang yang terperangkap tersebut menyebut segala amal baik yang mereka lakukan dan mengadu kepada Allah agar batu itu digeser. Alhamdulillah, batu tersebut digeser oleh Allah. Ini adalah contoh tawasul dengan amal saleh.

Jadi, jika Anda ingin Allah mengabulkan doa Anda, Anda dapat melakukan amal saleh, seperti membaca surat Yasin, Al-Baqarah, Al-Imran, dan sebagainya. Setelah itu, mengadulah kepada Allah dengan menyampaikan, “Ya Allah, aku telah membaca surat Al-Qur’an ini. Maka kabulkan doaku.” Ini merupakan tawasul dengan amal saleh atau tawasul dengan orang-orang saleh, yang diajarkan oleh para ulama.

Kemudian, ada juga yang bertanya mengenai menghadiahkan pahala kepada orang lain. Mengenai hal ini, jika kita berdoa dengan benar, doa kita akan sampai kepada yang dituju. Para ulama sudah sepakat bahwa menghadiahkan pahala untuk orang yang telah meninggal dunia bukanlah sesuatu yang terlarang. Insya Allah, pahala tersebut akan sampai, tergantung ketulusan kita dalam menghadiahkannya.

Jadi, tidak usah ragu dengan pendapat orang-orang yang meragukan hal ini. Mereka yang meragukan biasanya tidak percaya atau tidak memahami. Sebagaimana yang sudah disepakati oleh ulama dari masa ke masa, menghadiahkan pahala itu tidak terlarang, asalkan ada keyakinan dari orang yang menerima.

Dalam pembahasan mengenai mengirim pahala, para ulama juga telah menyatakan bahwa pada umumnya hadiah pahala itu sampai. Sebagian besar ulama, termasuk dari berbagai mazhab seperti Hanafi, Maliki, dan Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa pahala itu sampai. Namun, Imam Syafi’i memiliki pendapat berbeda yang menyatakan bahwa pahala tidak sampai, tetapi bukan berarti itu terlarang.

Murid-murid Imam Syafi’i menjelaskan bahwa pahala tidak akan sampai jika kita tidak mengarahkan atau menghadiahkannya kepada orang tertentu yang telah ditentukan. Jika tidak ada alamat atau orang yang dituju, maka tentu saja hadiahnya tidak akan sampai.

Sekian penjelasan ini. Semoga bermanfaat.

Apakah Solat Witir Harus Dilakukan Berturut-turut?

Apakah Solat Witir Harus Dilakukan Berturut-turut?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Bu, saya mau menanyakan tentang salat Witir. Apakah salat Witir harus dilaksanakan berturut-turut sebanyak 11 rakaat? Bila kita ikut imam, biasanya imam hanya melakukan tiga rakaat, dan kemudian dilanjutkan lagi di rumah dengan 8 rakaat. Apakah itu diperkenankan? Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salat Witir tidak harus dilakukan dalam bentuk tertentu, seperti 11 rakaat yang berturut-turut. Tidak ada ukuran yang mengharuskan kita untuk melakukannya dalam jumlah tertentu, seperti dua, dua, dua, dua, dua, kemudian satu menjadi 11. Anda boleh melakukan dengan cara yang lebih fleksibel, seperti dua, tiga, tiga, dua, kemudian dua, dan satu. Anda dapat melakukannya secara cicil, seperti 4 rakaat sekarang, diikuti dua, dua, dan seterusnya. Ini diperbolehkan.

Namun, kemarin ada yang bertanya di majelis pesantren. Jika seseorang sudah terlanjur melakukan Witir di awal waktu setelah Tarawih, misalnya Witir tiga rakaat, tetapi ada ibu-ibu dan bapak-bapak yang ingin menyempurnakan Witir menjadi 11 rakaat, karena memang Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam biasanya melakukan Witir 11 rakaat. Sebaiknya kita jangan hanya terpaku pada tiga rakaat.

Untuk melanjutkan agar bisa berwitir 11 rakaat, ada tiga cara. Namun, satu cara dilemahkan oleh para ulama, sedangkan dua cara lainnya boleh digunakan.

1. Cara pertama adalah mengikuti imam Tarawih yang Witirnya hanya tiga. Namun, di rakaat terakhir imam, di mana imam melakukan satu rakaat, ibu niat untuk dua rakaat. Saat imam bersalam, ibu lanjutkan dengan berdiri untuk satu rakaat lagi. Dengan cara ini, ibu sudah mendapatkan dua rakaat. Jadi, ibu belum menutup dengan ganjil (sebagaimana yang dimaksud dengan Witir). Ibu boleh melanjutkan Witir di rumah kapan saja.

2. Cara kedua adalah melakukan Witir dengan tiga rakaat, yaitu dua plus satu. Ini disebut mukadimah Witir yang akan disempurnakan. Dalam hal ini, tidak ada Witir lagi karena ganjilnya sudah terpenuhi.

Ada juga yang dinamakan “qolnaqab” untuk membatalkan Witir, tetapi ini lemah jika dinukil dari Imam Ghazali. Misalnya, jika seseorang sudah melakukan Witir tiga rakaat dan kemudian sampai di rumah menambah satu, menjadi 3+1, maka ini menjadi genap. Namun, pendapat ini dilemahkan, jadi sebaiknya jangan menggunakannya.

Jadi, Ibu sebaiknya menambahkan dari tiga rakaat menjadi empat, lalu melanjutkan sesuai keinginan. Atau, Ibu lakukan dua, satu, selesai, kemudian di rumah lanjutkan mukadimah Witirnya. Sebagian ulama memperkenankan cara seperti ini.

Adapun mengenai masalah nadb (nadbul Witir), sebagian besar ulama mengingkarinya. Alhamdulillah, jika ada yang mampu melakukan Witir hingga 11 rakaat, itu luar biasa, terutama pada malam-malam di 20 ke atas. Kita seharusnya memperbanyak ibadah, bukan hanya terpaku pada tiga rakaat.

Hukum Istinja dan Bersuci dalam Islam

Hukum Istinja dan Bersuci dalam Islam

Istinja adalah hukum yang berkaitan dengan membersihkan atau mensucikan sisa buang air besar dan kecil. Terdapat beberapa hukum yang perlu diketahui mengenai istinja:

1. Wajib: Istinja adalah wajib jika yang keluar mengandung pebasahan. Contohnya, jika seseorang buang air besar atau kecil dan ada sisa yang basah, maka ia wajib melakukan istinja.

2. Sunah: Istinja menjadi sunah jika sesuatu yang keluar tidak ada pebasahannya. Sebagai contoh, jika seseorang mengeluarkan sesuatu dari perutnya melalui jalur belakang yang kering, maka beristinja adalah sunah dalam keadaan itu.

3. Makruh: Istinja juga dianggap makruh ketika seseorang buang angin. Hal ini kerana buang angin boleh mengarah kepada perasaan was-was. Namun, jika seseorang buang angin, tidak perlu melakukan istinja.

4. Mubah: Terdapat keadaan mubah, yaitu ketika keringat mengalir ke wilayah tersebut dan menyebabkan ketidaknyamanan. Dalam hal ini, seseorang boleh melakukan istinja, tetapi tidak diwajibkan.

5. Haram: Istinja menjadi haram jika menggunakan sesuatu yang terhormat atau diharamkan. Misalnya, jika seseorang melakukan istinja dengan air curian, atau menggunakan batu yang menyerupai makanan, seperti roti kering atau roti keras, maka tindakan tersebut adalah haram. Ini kerana larangan tersebut bukan disebabkan oleh zat istinja itu sendiri, tetapi oleh peralatan yang digunakan untuk istinja.

Secara keseluruhan, istinja adalah proses penting dalam menjaga kebersihan dan kesucian setelah buang air.

Bisnis dengan Bagi Hasil Modal 5%

Bisnis dengan Bagi Hasil Modal 5%

Kakak sepupu saya mengajak saya berbisnis. Dia sudah membaca pinjaman modal yang akan diberikan kepadanya, di mana dia akan memberi saya 5% per bulan. Namun, saya menyadari bahwa ini adalah riba. Jika 5% itu berasal dari modal, maka itu adalah riba. 5% dari untung mungkin bisa diterima, tetapi 5% dari modal jelas merupakan riba. Kita harus menjauhi riba, karena semua bunga adalah riba.

Banyak kawan-kawan kita masih terlibat dalam urusan riba, tetapi mereka bersemangat untuk berhijrah. Niat untuk berhijrah adalah suatu kemuliaan dan telah diampuni oleh Allah. Namun, ada juga yang enggan untuk berubah dan tidak mau insaf. Misalnya, bagaimana jika nenek kita ingin terjerumus ke dalam neraka? Jika ada di antara kita yang masih berada dalam kehinaan, maka kita perlu menyesal dan berusaha untuk berhijrah.

Banyak teman-teman kita ingin berhijrah. Saya pun ingin berhijrah. Caranya adalah dengan perlahan-lahan, mungkin hari ini kita berpindah sedikit demi sedikit ke bank-bank syariah dan seterusnya. Namun, jangan menyerah. Jika kita menyerah, itu adalah tanda kesombongan di hadapan Allah.

Ada yang berada di dalam kehinaan, bahkan ada pegawai di sebuah bank konvensional yang menangis dan bertekad untuk berhijrah. Dia bertanya kapan saatnya untuk hijrah. Waktunya adalah hal yang dia sendiri ketahui. Begitu dia meminta pertolongan kepada Allah, dalam satu atau dua tahun, dia bisa berhijrah.

Niat untuk berhijrah itu sudah ada, tetapi sering kali ada masalah yang rumit. Jika ada koperasi yang melakukan pinjaman dan saat mengembalikannya ada tambahan, maka hukum tetap sama; itu adalah riba. Misalnya, jika ada orang yang diajak untuk masuk surga tetapi memilih untuk menghindari kehinaan, mengapa harus ada tambahan? Lebih baik dari awal tidak ada tambahan, tetapi banyak yang merasa tidak nyaman jika tidak ada tambahan.

Kita harus menyadari bahwa Allah Maha Kaya, dan kita tidak boleh merendahkan siapa pun. Jika kita melihat orang-orang di sekitar kita masih berurusan dengan bank konvensional, kita tidak tahu apa yang terjadi di malam hari. Mungkin mereka sujud dengan air mata di tengah malam, atau mereka menangis dan tidak berdoa. Kita tidak seharusnya merendahkan mereka. Sebagai manusia, kita bisa berubah di posisi yang berbeda.

Oleh karena itu, kita harus menghidupkan hati kita. Jika kita melihat kemungkaran atau kemaksiatan, seharusnya kita mengadukan kepada Allah dan memohon agar saudara-saudara kita diangkat dari kehinaan tersebut. Kita perlu berdoa agar Allah mengampuni dan membebaskan mereka, bukan merendahkan, menggunjing, atau mencaci. Merendahkan orang lain adalah kesombongan dan merupakan dosa besar di hadapan Allah.

Semoga Allah mengampuni kita semua dan menjaga hati kita.

Kesalahpahaman tentang Ibadah Kurban

Kesalahpahaman tentang Ibadah Kurban

Awas, jangan salah paham seperti sebagian anak-anak dan kaum Muslimin di kampung-kampung. Mereka mengira bahwa menyembelih korban itu hanya dilakukan saat haji dan cukup sekali seumur hidup. Ini adalah kesalahpahaman yang telah berakar dan sulit untuk dibenahi. Akibatnya, di kampung-kampung, orang-orang sedikit sekali yang berkorban karena merasa sudah melakukannya tahun yang lalu, bahkan sepuluh tahun yang lalu.

Padahal, korban ini disunahkan setiap tahun, seperti halnya salat Idul Adha. Ketika kita memasuki Idul Adha, kita disunahkan untuk melaksanakan salat sunah Idul Adha dan juga berkorban setiap tahun, bukan hanya sekali seumur hidup. Ini dapat kita pahami dari pertanyaan sebagian orang yang mengatakan, “Aku belum berkorban,” yang menunjukkan pemahaman mereka yang keliru.

Ada juga yang mempertanyakan mana yang lebih didahulukan, antara korban dengan akekah. Ini menunjukkan bahwa mereka memahami bahwa korban itu adalah seumur hidup sekali, bukan setiap tahun. Kesalahpahaman ini sering kita dengar.

Contohnya, ada seorang haji kaya-raya yang ditawari untuk berkorban dengan kambing. Ia menjawab, “Saya sudah pernah berkorban.” Ketika ditanya kapan, ia akan menghitung-hitung, “Oh, 2000 dan kini 2015.” Ini adalah kenyataan yang ada.

Oleh karena itu, mari kita bergegas untuk mengamalkan semua amalan, termasuk puasa. Saya juga mengajak untuk berpuasa di Arafah. Puasa Arafah ini sangat dianjurkan bagi orang yang tidak menunaikan haji. Sementara itu, bagi mereka yang haji, lebih baik memperbanyak ibadah dan memohon kepada Allah di Arafah. Jangan sampai mereka terlalu sibuk menyiapkan masakan untuk berbuka, sehingga melupakan ibadah ini. Dengan demikian, sunah puasa Arafah ini penting untuk diingat, khususnya bagi kita yang tidak berada di Arafah, sementara mereka yang ada di sana memiliki ibadah khusus.

Pembagian Air dalam Fiqh Islam

Pembagian Air dalam Fiqh Islam

Air seperti apa yang bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi besar? Ada berbagai jenis air, seperti air susu, air kelapa, dan air lainnya. Namun, penting untuk mengetahui jenis air yang dapat digunakan untuk bersuci dari hadas besar dan hadas kecil. Para ulama menjelaskan tentang pembagian air yang kita saksikan di dunia ini, yang terdiri dari empat kategori.

Pertama, ada air yang disebut sebagai air suci dan mensucikan. Ini adalah air yang suci secara zatnya dan dapat digunakan untuk mensucikan yang lainnya. Dalam istilah fiqh, air ini disebut “thohir muthohir.”

Kedua, ada air suci tetapi tidak dapat mensucikan yang lainnya. Contohnya adalah air kopi; meskipun air kopi adalah suci, ia tidak bisa digunakan untuk mensucikan. Oleh karena itu, air ini disebut “thohir khair muthohir.”

Ketiga, ada air yang terkena najis. Air ini semula adalah air suci dan mensucikan, tetapi telah terkontaminasi najis, sehingga tidak dapat digunakan untuk mensucikan yang lainnya.

Keempat, ada air yang suci dan mensucikan tetapi makruh untuk digunakan dalam bersuci. Contohnya adalah air musamas, yaitu air yang terkena terik matahari. Meskipun wudhu atau mandi besar dengan air ini tetap sah, penggunaannya dianggap makruh.

Secara ringkas, pembagian air adalah sebagai berikut:
1. Air suci dan mensucikan: thohir muthohir.
2. Air suci tetapi tidak bisa mensucikan: thohir khair muthohir.
3. Air yang terkena najis: mutanajis.
4. Air suci dan mensucikan yang makruh untuk penggunaan: thohir mutakhir ma al-karomah.

Demikian gambaran umum tentang jenis-jenis air yang perlu dipahami.

Hukum Menjual atau Menyewakan Tempat Umum

Hukum Menjual atau Menyewakan Tempat Umum

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saya ingin bertanya tentang hukum fasilitas umum. Bagaimana hukum seorang pedagang yang menjual atau menyewakan tempat dagangannya, padahal tempat tersebut bukan miliknya? Apakah seorang pedagang boleh menjual atau menyewakan tempat dagangannya yang bukan hak miliknya?

Saat ini, sudah banyak pedagang yang menjual atau menyewakan tempat dagangannya ketika mereka ingin pindah. Namun, bagaimana status hukum jika tempat tersebut bukan miliknya? Apakah itu diperbolehkan?

Dalam jual beli barang, memang tidak ada yang bisa dijual kecuali barang yang dimiliki. Namun, ada kondisi di mana suatu tempat merupakan milik bersama, seperti di pinggir jalan. Semua orang memiliki hak untuk menggunakan tempat tersebut. Jika ada seseorang yang sudah membiasakan diri untuk menggunakan tempat itu, ia memiliki hak untuk menggunakannya meskipun tidak memiliki tempat tersebut secara resmi.

Jika dia ingin memberikan haknya kepada orang lain dengan imbalan, itu dianggap menjual manfaat dari haknya. Hal ini diperbolehkan selama jual beli tersebut wajar dan sesuai dengan syariat Nabi Muhammad SAW.

Dalam konteks jual beli, jika tempat tersebut adalah milik umum, siapapun yang pertama kali berhak duduk di situ memiliki hak tersebut. Misalnya, jika ada seseorang yang butuh untuk duduk di tempat itu dan menawarkan uang sebagai imbalan, itu diperbolehkan. Namun, jika tempat itu adalah milik pribadi, tidak seharusnya seseorang menjual manfaat dari tempat tersebut tanpa izin pemilik.

Jadi, penjual manfaat di ruang publik adalah hal yang diperbolehkan asalkan dilakukan dengan adil dan saling rela. Dengan kata lain, jika seseorang ingin menjual haknya menggunakan tempat umum, itu bisa dilakukan dalam kerangka syariat Islam, asalkan semua pihak sepakat.

Terima kasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Bolehkah Berwudhu di Bak Mandi?

Bolehkah Berwudhu di Bak Mandi?

Ketika kita sedang bepergian ke suatu tempat dan hendak berwudhu, kita mungkin mendapati keran air di lokasi tersebut sedang rusak. Dalam situasi seperti ini, air yang tersedia mungkin hanya berasal dari bak mandi.

Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana hukum berwudhu dengan air dari bak mandi tersebut? Bak mandi yang dimaksud memiliki ukuran standar. Apakah ukuran tersebut penting? Ya, ukuran bak mandi yang dianjurkan adalah sekitar 60 cm x 60 cm x 60 cm. Jika bak mandi tersebut berukuran seperti ini, kita boleh berwudhu dengan cara mencelupkan tangan ke dalam air, atau celup-celup.

Namun, jika ukuran bak mandi tersebut lebih kecil, misalnya hanya berukuran timba kecil, kita masih boleh berwudhu. Caranya, niatkan untuk mengambil air wudhu dari timba tersebut, meskipun kita mengambilnya dengan tangan. Tidak ada masalah jika kita menggunakan tangan untuk menciduk air, asalkan kita niat menggunakan air tersebut untuk berwudhu.

Yang terpenting, meskipun air yang digunakan sedikit, selama air tersebut belum dianggap musta’mal, kita masih boleh menggunakannya. Air dianggap musta’mal jika telah terpisah dari bagian tubuh kita setelah digunakan untuk wudhu, terutama jika air tersebut digunakan untuk membasuh anggota tubuh yang wajib.

Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa air musta’mal adalah air yang sudah digunakan untuk wudhu, dan bukan semata-mata karena diambil dari tempat yang dianggap tidak bersih. Kebiasaan di beberapa tempat, seperti pesantren, mungkin menganggap air yang diambil dari bak kecil sudah musta’mal. Padahal, air musta’mal hanya berlaku untuk air yang sudah digunakan dan terpisah dari anggota tubuh yang dibasuh.

Sujud yang Terhalang Mukena

Sujud yang Terhalang Mukena

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Saya mau bertanya tentang sujud. Jika seseorang secara tidak sengaja terkena mukena saat sujud, bagaimana cara untuk mengganti sujudnya? Dalam situasi ini, jika seorang wanita sedang sujud dan jidatnya terkena mukena, bagaimana seharusnya ia melakukan sujud?

Ada pertanyaan mirip dari orang lain yang mengatakan bahwa dia sering sujud di atas mukena. Apakah salatnya sah, ataukah perlu diqadha? Sebaiknya tidak perlu repot-repot. Yang penting adalah tidak mengulangi kesalahan itu di masa depan. Kita harus mengingat kaidah dari mazhab yang memudahkan salat. Jika seseorang telah terlanjur melakukan kesalahan, cukup lakukan salat sunat jika ada yang bolong, tetapi tidak perlu diqadha.

Menurut mazhab Imam Syafi’i, masih ada toleransi dari para ulama dalam mazhab tersebut. Jika seorang awam melakukan satu kesalahan, mereka masih bisa dibenarkan dengan mazhab lain. Penting untuk tidak membebani diri dengan urusan yang menyusahkan. Yang sudah lalu, Insya Allah dimaafkan. Hal ini diambil dari pemahaman mazhab Imam Malik dan jumhur ulama lainnya, yang cenderung memberikan kemudahan.

Sementara itu, ada juga yang bertanya tentang penggunaan imamah. Dalam konteks ini, jika seseorang sudah terlanjur menggunakan imamah yang jungkel, ini adalah masalah yang berbeda. Jika sudah dilakukan, Insya Allah dimaafkan. Namun, untuk yang belum melakukan, sebaiknya tidak melakukannya. Jangan sampai orang awam terbebani dengan masalah yang khilaf di antara para ulama.

Semoga penjelasan ini bermanfaat. Waassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.