Sekiranya ada kesilapan pada transkrip, anda boleh rujuk video ini untuk semakan.
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!
Segera download Quran Tadabbur Tafsir dalam genggaman anda! Bulan Ramadan adalah bulan Al-Quran.
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدًا عبده ورسوله، الداعي إلى رضوانه. اللهم صلِّ عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه.
Ikhwan dan akhwat para jamaah Masjid As Sunnah Bintaro yang dirahmati Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita kembali melanjutkan bahasan kita dari pembahasan kitab Al Fikih Al Manhaj Al Imam Syafi’i Rahimahullah Ta’ala. Kita sudah selesai membahas wudhu, dan kini melanjutkan pembahasan tentang hukum mengusap Al-Khuf.
Al-Khuf adalah sepatu yang dipakai di kaki. Pembahasan ini penting kerana kita tahu perluasan penggunaan penutup kaki seperti sepatu atau kaos kaki (al-jabardırain) di masyarakat pada zaman kini. Terutama dalam kondisi tertentu, seperti musim dingin.
Contohnya, saudara-saudara kita di Eropa, Australia, dan juga di Arab Saudi, yang berada di luar garis khatulistiwa. Musim dingin membuat mereka harus sering membuka sepatu atau kaos kaki, yang menyebabkan kaki terkena air hingga lima kali sehari. Situasi ini boleh jadi cukup dingin dan merepotkan, dan terkadang membuat kaki mudah terkena sakit.
Terdapat banyak permasalahan terkait wudhu, terutama bagi mereka yang mengenakan tutup kaki. Misalnya, orang-orang yang bekerja seperti polisi atau petugas yang menggunakan sepatu, di mana tidak mudah untuk membukanya. Apakah mereka bisa berwudhu tanpa harus melepas sepatu? Hal ini juga berlaku bagi tentara yang bertugas di lapangan atau di hutan, di mana mereka memerlukan cara untuk berwudhu tanpa harus membuka sepatu. Ini menjadi suatu kebutuhan fiqih yang penting.
Di tanah air mungkin isu ini tidak terlalu menonjol, tetapi saat saya melakukan perjalanan, seperti ketika tinggal di Madinah atau bepergian ke negara-negara Eropa dan Australia, saya menemukan pentingnya hal ini. Saya sering menggunakan khuf di daerah-daerah tersebut karena dapat memberikan rasa hangat dan memudahkan untuk salat.
Pembahasan mengenai al-mas’alah al-khufain ini adalah tema yang membedakan antara Ahlus Sunnah dan Rafidah. Rafidah menolak untuk mengusap atas sepatu, berpendapat bahwa wudhu tidak sah jika tidak membuka sepatu dan harus mencuci kedua kaki. Ketika mereka membasuh kaki, sebenarnya mereka mengusap, tetapi mereka tidak menerima ketentuan mengusap khuf. Ketika mereka melepas khuf, mereka tidak mencuci kedua kaki.
Dalam hal ini, terdapat hadis yang menjelaskan kemudahan berwudhu dengan mengusap khuf, seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Mughirah bin Shu’bah, bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Jika seorang di antara kalian berwudhu, kemudian ia mengenakan khuf-nya, maka boleh ia mengusap khuf-nya selama tiga hari bagi musafir dan satu hari bagi penduduk.” (HR. Muslim)
Ini menunjukkan bahwa mengusap khuf adalah solusi bagi umat Islam yang dalam keadaan sulit untuk melepas alas kaki mereka.
Mereka hanya mengusap kedua kaki, sebagaimana yang sering saya lihat di Madinah. Di sana, saya melihat orang-orang Syiah berwudhu. Mereka tidak membasuh atau mencuci kaki, tetapi hanya mengusapnya. Pengusapan kedua kaki ini diingkari oleh orang Rafidah. Masalah ini telah dibahas oleh sebagian ulama dalam konteks akidah dan fiqih, namun yang lebih tepat adalah membedakan antara Ahlus Sunnah dan Rafidah.
Hal ini karena yang meriwayatkan hadis tentang al-mas’ul al-kufain (mengusap kedua kaki) adalah banyak sahabat, mungkin sekitar 70 orang. Hadis ini termasuk dalam kategori mutawatir, iaitu hadis yang diriwayatkan oleh sepuluh orang atau lebih. Di antara hadis-hadis mutawatir lainnya, terdapat hadis-hadis yang menunjukkan pentingnya akhlak dan ibadah, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian, terdapat hadis yang menyatakan:
مَنْ بَنى مَسْجِدًا لِلَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Selain itu, ada juga hadis mengenai ruqyah, di mana Allah akan melihat pada hari kiamat kelak, yang telah diriwayatkan oleh lebih dari 25 sahabat. Begitu pula, banyak hadis tentang syafaat. Dengan demikian, kita dapat melihat bahawa sangat banyak hadis yang menyokong ajaran ini.
Tentang Haud, disebutkan bahawa terdapat sekitar 80 sahabat yang meriwayatkan mengenai telaga Nabi Shallallahu alaihi wasallam, atau sekurang-kurangnya lebih daripada 50. Dalam tulisan ini, kita akan membahas dari sudut fiqih menurut mazhab Syafi’i, khususnya mengenai hukum mengusap al-khufain (dua khuf). Al-khuf adalah jenis sepatu atau kulit yang menutupi kaki dan kedua mata kaki.
Hukum mengusap al-khufain ketika berwudhu adalah dibolehkan, sehingga seseorang dapat melakukannya tanpa perlu membuka kakinya, yakni hanya dengan mengusap kedua khuf tersebut. Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini adalah perbuatan Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dikatakan, “Aku melihat Nabi Shallallahu alaihi wasallam buang air kecil, kemudian berwudhu dengan mengusap kedua khufnya.”
Terdapat banyak sahabat yang meriwayatkan tentang hukum mengusap khuf, di antaranya adalah Ali bin Abi Thalib. Salah satu ucapan beliau menunjukkan bahawa jika agama ini berlandaskan akal, maka seharusnya bahagian bawah khuf yang lebih utama untuk diusap berbanding bahagian atas. Namun, Ali bin Abi Thalib telah melihat Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengusap bahagian atas khuf, sehingga menegaskan bahawa hukum ini diterima dalam Islam.
(Sumber: Hadis riwayat Bukhari dan Muslim, status sahih)
Disampaikan oleh penulis Al-Fikrul Man Haji, ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Jalil bin Abdullah Al-Bajali. Beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam buang air kecil, kemudian beliau berwudhu dan mengusap kedua khuf.” (HR. Abu Dawud, no. 169).
Hadis ini penting karena Jalil bin Abdullah masuk Islam belakangan setelah turunnya Surah Al-Maidah, sehingga masalah pengusapannya terhadap khuf ini bukan perkara yang mansukh. Jika seandainya ada hukum-hukum yang turun sebelum Surah Al-Maidah, mungkin saja bisa dimansuhkan. Namun, kerana Jalil bin Abdullah meriwayatkan hadis tentang hal ini, menunjukkan bahwasanya hukum ini tetap berlaku hingga wafatnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Di antara hukum yang diambil adalah boleh mengusap kedua sepatu (khuf). Namun, menurut Mazhab Syafi’i, yang lebih utama adalah membasuh kedua kaki. Ini kerana hukumnya adalah mencuci kedua kaki dan ini merupakan keringanan. Selain itu, Nabi lebih banyak membasuh kedua kakinya dibandingkan mengusap khuf. Sehingga Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mengusap khuf itu boleh, tetapi lebih afdol adalah mencuci kedua kaki.
Adapun syarat-syarat untuk dibolehkan mengusap khuf, kita tuliskan di sini:
1.
Syarat-syarat bolehnya mengusap khuf adalah sebagai berikut:
Dalil: Dari Al-Mughirah bin Shu’bah, beliau berkata: “Aku pernah bersafar bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ketika hendak berwudhu, aku bermaksud untuk membuka khufku, tetapi Nabi bersabda: ‘Biarkan kedua khuf tersebut, cukup diusap saja.'” (HR. Al-Bukhari).
Dengan memahami syarat-syarat ini, kita dapat lebih mudah menjalankan ibadah dengan benar dan sesuai tuntunan syariat.
Sudah selesai, tetapi khuf yang kanan tidak sah. Khuf tersebut harus dilepas terlebih dahulu sebelum menggunakan yang baru. Syaratnya adalah menggunakan kedua khuf dalam keadaan kedua kaki sudah berwudhu; yaitu, wudhu sudah selesai.
Jadi, jika seseorang memakai khuf sebelah kanan terlebih dahulu, kemudian dia berwudhu dan mencuci kaki kanan, lalu memakai khuf sebelah kanan, dan setelah itu mencuci kaki kiri dan memakai khuf sebelah kiri, ini tidak dibenarkan. Yang kanan salah, sementara yang kiri benar, karena khuf kiri dipakai setelah kedua kaki dicuci, tetapi khuf kanan harus dilepas dan dipakai lagi setelahnya.
Ini adalah syarat yang pertama.
Syarat berikutnya berkaitan dengan khuf itu sendiri. Khuf harus menutupi kedua mata kaki. Jika kedua mata kaki terlihat, maka kedua mata kaki tersebut harus dicuci. Menurut syariat, khuf diusap karena ia menutupi kaki hingga kedua mata kaki.
Sebagai gambaran, jika kita mengetahui posisi kaki dan mata kaki, maka khuf harus menutupi hingga di atas mata kaki. Jika khuf diletakkan di bawah mata kaki, maka itu tidak sah. Hal ini penting, karena jika khuf berada di bawah mata kaki, mata kaki akan terlihat, dan wudhu harus membasuh mata kaki.
Oleh itu, bagian-bagian kaki harus dicuci dengan benar, tidak hanya diusap.
**Dalil:**
– “Dan jika kalian telah melakukan wudhu, maka usaplah kepala dan kaki kalian hingga ke pergelangan.” (Q.S. Al-Ma’idah: 6) [Status: Sahih]
– “Perintahkan kepada mereka untuk menyucikan diri dan menutupi mata kaki.” (Hadis riwayat Abu Dawud) [Status: Hasan]
**Syarat Khuf**
Dalil: «وَأَمَّا الْخُفَّانِ فَإنَّ الأَرْضَ طَهُورَتُهُمْ» (Hadis riwayat Ahmad dan Al-Bukhari).
Dalil: «تَمَامُ الصَّلَاةِ فِي الْخُفِّ» (Ibn Majah).
Dalil: «إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ» (Al-Hujurat: 10).
Dengan syarat-syarat ini, dapatlah kita memastikan bahawa khuf yang dipakai memenuhi kriteria yang ditentukan dalam syariat.
Teks yang telah diperbaiki adalah seperti berikut:
Terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan menurut mazhab Syafi’i mengenai sahnya mengusap kaos kaki. Pertama, kaos kaki tidak boleh terkena najis. Najis bermaksud kotoran yang dapat menghalang kesucian. Dalam mazhab Syafi’i, ada lima syarat yang diperlukan untuk mengusap kaos kaki. Oleh itu, penting untuk memahami bahawa mengusap kaos kaki adalah tidak dibenarkan.
Orang yang memakai kaos kaki tidak boleh mengusapnya kerana kaos kaki yang biasa tidak dapat menahan air, sama ada ia tebal atau tidak. Jika air tumpah ke atas kaos kaki, ia tetap akan masuk. Terutama jika kaos kaki tersebut tipis (syafaf), maka lebih jelas bahawa ia tidak dapat menahan air.
Sebagai perbandingan, mazhab Hambali membenarkan penggunaan kaos kaki, tetapi mereka juga menetapkan syarat yang sama seperti yang telah disebutkan. Selain itu, kaos kaki yang rosak (robek) juga tidak boleh diusap, kerana kekotoran pada kaki akan terlihat dan kaki harus dicuci.
Sebagai rujukan, Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’idah (5:6):
**يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرافِقِ وَامْسَحُوا بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ**
(“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu hendak mengerjakan sembahyang, maka basuhlah wajah-wajahmu dan tangan-tanganmu hingga ke siku, dan usaplah kepalamu serta kaki-kaki kamu hingga ke pergelangan.”)
Ayat ini menekankan perlunya membasuh bagian-bagian tertentu untuk memastikan kesucian sebelum melaksanakan solat.
Kaki yang terlihat sehingga tidak dapat menutupi seluruh anggota kaki, jika ada yang terbuka sedikit, maka tidak bisa lagi dijadikan sebagai khuf. Ini adalah pendapat dari mazhab Syafi’i.
Selanjutnya, kita membahas tentang waktu untuk mengusap khuf. Khuf terbagi kepada dua, yaitu khuf kanan dan khuf kiri. Kita juga dapat membedakan waktu mengusap berdasarkan status, yaitu untuk mukim dan musafir.
– Waktu mengusap khuf bagi orang yang mukim adalah selama 1×24 jam, atau sama dengan 24 jam.
– Bagi musafir, waktu mengusap khuf adalah selama tiga hari dan tiga malam, yakni 3×24 jam, yang bersamaan dengan 72 jam.
Adapun dalil mengenai hal ini berdasarkan sebuah hadis dari Surai bin Hani. Ia berkata, “Aku bertanya kepada Aisyah radhiyallahu anha tentang masalah mengusap kedua khuf. Aisyah menyarankan untuk bertanya kepada Ali radhiyallahu anhu, karena beliau lebih mengetahui tentang masalah khufain.” Hal ini disebabkan Ali bin Abi Talib radhiyallahu anhu sering bermusafir bersama Rasulullah SAW.
Ali bin Abi Talib radhiyallahu anhu menjelaskan, “Waktu mengusap bagi orang yang mukim adalah sehari semalam.”
Namun, timbul pertanyaan, kapan waktu mulai menghitungnya. Misalnya, jika seseorang bernama Bobby berwudhu pada pukul 7:00 pagi, maka…
(Note: Teks ini dipotong agar tidak terlalu panjang, silakan tambahkan atau sediakan informasi lebih lanjut jika diperlukan.)
Bobby membatalkan wudhunya pada jam 7.00. Setelah itu, dia mengenakan khuf dan berwudhu dengan sempurna. Dia mengenakan khuf tersebut pada jam 8.00. Namun, pada jam 9.00, Bobby mengalami hadas kecil, misalnya dengan kencing atau buang angin. Dia kemudian berniat untuk menunaikan solat, seperti solat zuhur, setelah mengusap khufnya.
Dia pertama kali mengusap khuf pada jam 11.00, setelah berhadas pada jam 9.00. Menurut mazhab Syafi’i, waktu mulai menghitung masa sah khuf adalah sejak pertama kali seseorang berhadas, bukan sejak pertama kali mengusapnya. Ini merupakan pendapat yang diambil dalam mazhab tersebut, yang lebih mengutamakan waktu berhadas.
Jika kita terapkan pada praktisnya, Bobby yang merupakan seorang mukim, maka masa yang diperhitungkan mulai dari jam 9.00 pada hari Khamis hingga jam 9.00 pada hari Jumaat. Apabila sudah melewati waktu tersebut, maka Bobby dianggap telah batal wudhunya secara otomatis.
Adapun untuk seorang musafir, waktu yang diperbolehkan mungkin berbeda.
Ini adalah penjelasan mengenai waktu untuk mengusap khuf bagi musafir dan mukim.
Pertama sekali, mari kita tetapkan waktu bermulanya dan berakhirnya. Bobby akan memulakan perjalanan pada hari Kamis jam 9.00 pagi dan akan berlangsung hingga hari Ahad jam 9.00 pagi.
Untuk musafir, tempoh mengusap khuf adalah selama tiga hari tiga malam, manakala bagi yang mukim adalah sehari semalam. Jika terjadi pertemuan antara keduanya, misalnya Bobby mengusap khufnya pada jam 10.00 pagi ketika berada di rumah, dan kemudian mengusap lagi pada jam 11.00 pagi sebelum pergi ke masjid, keadaan beliau selepas itu harus diperhatikan.
Setelah itu, jika Bobby pergi ke luar kota, waktu mengusap khufnya tidak akan berubah menjadi tiga hari. Kata para ulama, waktu tetap satu hari, yang mengikut status asalnya sebagai mukim. Dalam hal ini, dia harus melepaskan khufnya selepas satu hari, kerana ketika berkumpul antara status mukim dan musafir, status mukim yang menjadi dominan.
Sebagai contoh lain, jika Bobby mula-mula berada dalam keadaan musafir di luar kota dan mengusap khufnya di sana, kemudian dia pulang ke rumahnya, keadaan beliau akan dianggap mukim. Dalam kes ini, dia boleh mengusap khufnya selama satu hari dan satu malam, kerana ketika berkumpul antara status musafir dan mukim, status musafir yang dominan.
Hadis Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam menyebutkan, “Jika seseorang dari kamu mengusap khufnya, maka waktu mengusap adalah tiga hari dan tiga malam bagi musafir dan satu hari dan satu malam bagi mukim.” (Riwayat Muslim, no. 276).
Dengan ini, kita dapat memahami selok belok berhubung dengan mengusap khuf menerusi status mukim dan musafir.
Iqomah didahulukan dengan janibul iqomah, khususnya bagi mukim. Waktu untuk mengusap khuf adalah penting. Menurut mazhab Syafi’i, terdapat dua cara untuk mengusap khuf:
**Dalil**: “Dan apabila kamu dalam perjalanan, maka tidak mengapa bagi kamu untuk mengurangi shalat” (QS. An-Nisa: 101). Status dalil: Sahih.
Berikut adalah teks yang telah diperbaiki untuk memudahkan pemahaman:
—
Misalnya, saya akan menjelaskan cara mengusap kaki. Pertama, saya mengangkat kaki kanan dan mengusap bagian yang terletak di atas sepatu. Cara yang benar adalah membuka jari-jari tangan dari sisi kanan dan kemudian mengusap bagian bawah kaki. Setelah itu, saya menaruh kaki kiri di atas tumit kaki kanan. Selanjutnya, saya melakukan pengusapan sekali secara menyeluruh, dengan perhatian pada bagian atas dan bawah.
Menurut pendapat mereka, mengusap kedua bagian ini adalah tindakan yang sesuai dengan sunah. Dalam hal ini, baik kaki kiri maupun kaki kanan diusap dengan sempurna.
Syeikh Muhammad Zuhaili menyebutkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Mughirah, yang menyatakan bahwa beliau melihat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mengusap bagian bawah dan atas kaki. Hadis ini bersumber dari Zaid. Oleh karena itu, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dalam hadis yang shahih, jika agama mengikuti logika, maka bagian bawah lebih utama untuk diusap karena biasanya bagian bawah lebih kotor dan perlu dibersihkan. Namun, saya menyaksikan Nabi mengusap bagian atas, sehingga yang benar diusap adalah bagian atas saja.
Meskipun demikian, mazhab Syafi’i mengajarkan bahwa jika seseorang mengusap sedikit saja, itu sudah sah, baik di bagian atas maupun bawah. Dalam mazhab ini, meskipun pengusapan dilakukan hanya pada salah satu bagian, tetap sah. Mazhab lain cenderung berfokus pada pengusapan yang lebih menyeluruh, tetapi tidak seperti mazhab Syafi’i yang menganggap bahwa diusap sedikit sudah cukup.
Penting untuk diketahui bahwa pengusapan atas dan bawah dianjurkan, meskipun ada perbedaan pendapat.
—
Semoga penjelasan ini lebih jelas dan mudah dipahami.
Kita akan membahas tentang hal-hal yang membatalkan wudhu, khususnya dalam konteks mengusap khuf. Sebagaimana dijelaskan dalam Fiqh al-Manhaj Haji, Jilid 1, halaman 67, terdapat tiga hal yang dapat membatalkan.
Yang pertama adalah melepas khuf, baik salah satu maupun keduanya. Secara logika, ketika khuf dikenakan pada kaki, wudhu seseorang dianggap sah selama khuf tersebut tetap dipakai. Ketika khuf dilepas, wudhu tidak lagi terhubung dengan tubuh, sehingga bisa dianggap batal. Logikanya sederhana: kaki yang dibasuh dilindungi dengan khuf; jika khuf dilepas, maka basuhan tersebut tidak lagi ada.
Apabila hal ini terjadi, maka cukup dengan mencuci kaki saja. Wudhu secara keseluruhan tidak batal, hanya bagian yang terpengaruh, yaitu kaki. Menurut mazhab Syafi’i, kita cukup mencuci kedua kaki untuk menyempurnakan wudhu.
Sekali lagi, perlu diingat bahwa yang batal adalah mengusap kedua khuf, bukan batalnya wudhu itu sendiri. Dengan kata lain, salah satu dari tiga hal yang membatalkan adalah melepas kedua khuf atau salah satunya, yang mengakibatkan batalnya pengusapan khuf.
Sebagai solusinya, kita bisa membasuh kedua kaki karena wudhu secara keseluruhan tidak batal. Selain itu, perlu kita ingat bahwa mualat (berturut-turut) dalam wudhu tidak diwajibkan menurut mazhab kita.
**Dalil:**
“Sahabat Jabir bin Abdullah r.a. mengatakan: ‘Rasulullah saw. bersabda: ‘Apabila salah seorang dari kalian memakai khuf, lalu ia berwudhu, maka cukup baginya mengusapnya asalkan ia tetap dalam keadaan di dalamnya.” (HR. Ahmad) – Status hadith: Hasan.
Syafi’i, menurut mazhab Syafi’i, memberi penjelasan mengenai keadaan tertentu ketika seorang Muslim ingin berwudhu. Jika kaki sudah kering sepenuhnya, tidak ada masalah. Dalam hal ini, kakinya dianggap seolah-olah belum dibasuh. Ketika khuf (sandal) dilepas, maka seolah-olah basuhan tadi terlepas dari kakinya, dan dia hanya perlu mencuci kedua kakinya.
Sebab yang kedua adalah berkenaan dengan habisnya masa mengusap. Seperti yang dicontohkan dengan Bobby, ketika dia mukim, masa yang ditentukan adalah hingga hari Jumaat jam 9 pagi. Untuk seorang musafir, masa yang ditentukan adalah hingga Ahad jam 9 pagi, bermula dari hari Khamis. Jika pada jam 9 dia belum batal wudhunya, terdapat dua situasi yang perlu diperhatikan.
Pertama, jika pada jam 9 dia batal wudhunya, maka dia perlu membuka khuf dan berwudhu dari awal.
Kedua, jika pada jam 9 wudhunya tidak batal tetapi masa mengusap sudah selesai, maka dia hanya perlu membuka khuf dan mencuci kedua kakinya. Dia tidak perlu berwudhu dari awal, kerana yang batal adalah masa mengusap khuf, bukan wudhunya itu sendiri.
Sebab yang ketiga adalah jika seseorang itu berada dalam keadaan junub.
Junub adalah keadaan yang membatalkan wudhunya seseorang. Dalam keadaan junub, seseorang harus membasuh kedua kakinya saat melakukan mandi junub. Kesimpulannya, mengusap khuf (sepatu) tidak berlaku bagi hadas besar. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Sofwan bin Assal radhiyallahu ta’ala anhu, yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyuruh kami untuk mengusap khuf jika kami sedang dalam perjalanan dan kami tidak perlu mencopotnya selama tiga hari, kecuali jika disebabkan oleh buang air besar, buang air kecil, atau tidur. Namun, jika seseorang dalam keadaan junub, maka khuf harus dilepas karena dia berkewajiban untuk mandi junub. Tiga keadaan ini membatalkan pengusapan khuf:
Selanjutnya, kita akan membahas tentang pengusapan perban. Pengusapan perban di sini mencakup berbagai jenis perban, seperti gips, kain, plester, atau balsem yang tidak dapat terkena air.
Undefined
Pertama, basuh wajah. Kemudian, basuh tangan. Jika terdapat perban di tangan, maka yang perlu ditayangkan adalah bagian yang tidak terkena air. Bagian yang tidak terkena air ini harus ditayangkan.
Cara berwudhu adalah seperti berikut: berwudhu secara biasa dengan membasuh wajah, kemudian tangan. Pastikan untuk membasahi bagian tangan yang tidak tertutup perban secara menyeluruh, baik kanan maupun kiri. Setelah itu, lakukan tayamum terlebih dahulu, sebelum mengusap kepala. Penting untuk memastikan tangan bersih sebelum berpindah ke pengusapan kepala.
Selanjutnya, untuk menyempurnakan proses, bagi bagian tangan yang tidak tertutup perban, kita basahi, sedangkan yang tertutup perban, kita tayamum. Usap perban dengan tayamum sehingga tangan kita menjadi sempurna, baru kemudian pindah ke kepala, dan akhirnya ke kaki.
Contoh lain, jika luka berada di wajah dan perban terletak di sana, maka basuh wajah terlebih dahulu, buat tayamum, kemudian lanjutkan ke tangan dan kaki. Jika luka terdapat pada kaki yang diperban, lakukan wudhu secara normal dengan membasuh wajah, tangan, dan kepala, baru kemudian tayamum untuk kaki.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah saat menggunakan perban untuk hadas besar (mandi junub). Dalam situasi ini, tertib tidak menjadi masalah—kita boleh memulakan tayamum terlebih dahulu atau di akhir. Namun, untuk wudhu, tertib harus diperhatikan.
**Dalil:**
Allah SWT berfirman:
**”Oleh karena itu, jika kamu dalam keadaan junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang di antara kamu datang dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh wanita, tetapi kamu tidak mendapatkan air, maka tayamumlah dengan tanah yang baik.”** (Surah Al-Maidah: 6)
**Status dalil:** Ayat ini menegaskan pentingnya tayamum dalam kondisi tertentu, seperti sakit atau tidak menemukan air.
Undefined
Kita sudah selesai membahas mazhab Syafi’i, dan sekarang ingin menyampaikan pendapat lain. Mohon agar pendapat ini dapat dilihat dalam murojaah tanpa dihapus, hanya difoto saja. Pendapat mazhab Syafi’i tentunya didasarkan pada pemahaman para ulama mereka yang berupaya mengistimbat dalil. Namun, dalam praktiknya, terutama terkait masalah kaos kaki, ada beberapa kesulitan.
Contohnya, dalam kasus penggunaan perban. Jika seseorang menggunakan perban dan lupa berwudhu terlebih dahulu, serta perban tersebut dipakai selama dua bulan, maka orang tersebut harus mengqodho salat selama dua bulan. Tentu saja, hal ini cukup berat bagi mereka yang menghadapi situasi tersebut. Oleh karena itu, kami menyampaikan pendapat lain di kalangan para ulama yang dianggap lebih ringan dan lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Di antara masalah yang dimaksud adalah syarat al-kufain. Dalam mazhab Syafi’i, dinyatakan bahwa syarat al-kufain harus dapat menutupi seluruh kaki dan tidak boleh tembus pandang, serta harus mampu dipakai untuk kegiatan sehari-hari. Karena itu, penggunaan kaos kaki tidak diperbolehkan. Ini berbeda dengan mazhab Hambali, yang memiliki pandangan lebih fleksibel.
Ada sebuah hadis yang menjadi dasar pendapat ini, yang diriwayatkan oleh Rasulullah ﷺ. Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai kesahihan hadis tersebut—ada yang menganggapnya sebagai hadis sahih dan ada pula yang berpendapat bahwa ia lemah (dha’if)—seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, para ulama Hanabila pun tetap menghargai pendapat ini meskipun hadisnya dianggap lemah. Juga, telah sah dari para sahabat mengenai hal ini, yang dapat disebutkan sebanyak sembilan.
Sahabat-sahabat mereka mengusap kaos kaki ketika berwudhu, bukan hanya sekadar khuf. Adapun syarat untuk khuf adalah bahwa tidak boleh terdapat robekan. Misalnya, jika kaos kaki memiliki kerusakan, hal itu tidak memiliki dalil yang jelas dan hanya sekadar logika dalam memahami dalil. Ini karena khuf berfungsi sebagai pengganti kaki. Namun, menurut pandangan ulama yang lain, masalah ini bukan hanya tentang menutup kaki, tetapi lebih kepada keringanan (ruhsah) yang diberikan.
Adakalanya berat untuk melepas kaos kaki atau sepatu, jadi bukan masalah apakah kaki tertutup atau tidak. Jika ada robekan pada kaos kaki sehingga dapat kemasukan air, hal tersebut dapat mempengaruhi sah atau tidaknya wudhu. Ini adalah pandangan ulama, terutama ulama Hanbali, yang menganggap pentingnya keringanan ini.
Ketika seseorang menggunakan kaos kaki atau sepatu, akan sangat merepotkan jika mereka harus terus-menerus membuka dan menutupnya, terutama dalam musim dingin. Oleh karena itu, ada syarat-syarat tertentu, seperti kaos kaki harus terbuat dari kulit, harus digunakan untuk berjalan berhari-hari, tidak mudah rusak, dan tidak boleh tembus air. Beberapa ulama, termasuk ulama kontemporer, mengkritik ketentuan ini karena dalil-dalilnya tidak tegas, terutama ketika kita berbicara tentang kaos kaki yang dapat terbuat dari bahan yang tipis atau tembus pandang.
Saya pernah membeli jaket yang terbuat dari bahan tipis. Saya membelinya dengan harga 200 dolar, dan meskipun jaket tersebut tipis, ternyata bisa memberikan kehangatan. Ini berbeda dengan jaket tebal yang saya miliki, yang tidak memberikan kehangatan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa bahan yang digunakan dapat mempengaruhi kemampuan untuk memberikan kehangatan, meskipun jaket tersebut tampak tipis.
Begitu juga dengan kaos kaki. Kaos kaki bisa terbuat dari bahan yang tipis namun tetap memberikan kehangatan yang baik. Yang penting, kaos kaki tersebut disebut kuf, sehingga boleh dipakai dan diperbolehkan untuk diusap saat berwudhu. Ini adalah salah satu pendapat dalam masalah ini.
Terkait batalnya wudhu jika melepas sepatu, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa setelah mengusap sepatu, wudhu seseorang batal jika ia melepaskan sepatu tersebut. Beberapa sahabat Nabi juga melakukan hal ini.
Oleh karena itu, ada kalangan salaf yang berpendapat bahwa melepaskan sepatu tidak berarti wudhu seseorang menjadi batal. Jika wudhu sudah dianggap sah, maka tetap sah meskipun sepatu dilepas. Ini merupakan masalah khilafiyah di kalangan para ulama.
Adapun mengenai penggunaan perban, tidak disyaratkan untuk bersuci terlebih dahulu sebelum menggunakannya. Pengkiasan yang dilakukan terhadap khuf (sepatu kulit) menunjukkan bahwa hal ini juga berlaku untuk penggunaan perban.
Kias yang agak jauh pertama adalah khuf yang hanya berkaitan dengan kaki, sedangkan kuf hanya berkaitan dengan hadas kecil. Selain itu, kuf memiliki batas waktu. Terdapat tiga perbedaan antara kuf dan perban:
Selanjutnya, perban juga tidak terbatas pada hadas kecil saja; ia dapat digunakan dalam kondisi hadas besar, termasuk setelah mandi junub. Terdapat kisah sahabat yang meninggal karena kepalanya terluka dan ia tidak dapat membuka perbannya saat mandi junub. Nabi Muhammad sallallahu alaihi wasallam bersabda, “Mengapa mereka tidak bertanya jika mereka tidak tahu?” (HR. Bukhari).
Akhirnya, perban tidak memiliki batasan tertentu dalam penggunaannya. Bisa jadi digunakan sehari, lima hari, atau bahkan satu bulan, tergantung pada keadaan penyakit seseorang. Oleh karena itu, tidak relevan untuk mengkiaskan perban dengan kuf, dan tidak disyaratkan untuk bersuci terlebih dahulu sebelum menggunakan perban, terutama bagi orang yang mengalami luka.
luka orang luka ya disuruh tidak butuh wudhu dulu langsung segera segera diperban supaya cepat selamat tapi kalau tunggu dulu dibersihkan wudhu dulu atau lagi junub mandi dulu repot ya makanya tidak disyaratkan harus suci jadi begitu ada luka pakai sudah sehingga tidak perlu mengqodho salat mazhab Syafi’i berbeda kalau kita memakai perban tidak dalam kondisi bersuci kemudian kita ternyata pakai perban sampai sebulan nah ini harus qodho semuanya ya tapi inilah khilaf di kalangan para ulama ya saya hanya menyampaikan pendapat banyak ulama kontemporer dan juga ada ulama mazhab yang lain yang lebih ringan bagi masyarakat
Kami sedang mencari editor yang berkelayakan untuk memperbaiki transkrip serta mentakhrij dalil yang dinyatakan asatizah. Oleh itu, sumbangan dari pengguna sangat kami perlukan untuk tujuan ini. Setiap sumbangan sangat kami hargai. Semoga ianya menjadi saham yang mengalir sampai akhirat. Amin!